28

1.2K 165 10
                                    


Saat sampai di rumah Vidia, Leo kira bisa langsung mengajak Jennie pergi. Namun, ternyata itu semua hanya khayalan semata, karena nyatanya Senja bilang Jennie masih duduk di meja rias dengan Jingga dan Vidia yang sibuk mendandaninya. Kalau begini caranya Leo jadi menyesal karena menyuruh kedua adiknya—terutama Jingga—mendandani kekasihnya.

"Masih lama?" tanya Leo pada Senja yang duduk di sampingnya.

"Mana gue tahu," ujar Senja tak acuh dengan tangan yang memainkan ponselnya.

"Coba lo lihat dulu." Leo dengan paksa menarik salah satu tangan adiknya dan mendorongnya ke arah tangga yang menghubungkan dengan lantai dua.

Adiknya satu itu tampak akan melayangkan protes, tapi sebelum itu terjadi Leo lebih dulu melayangkan delikan tak terbantahkan. Akhirnya dengan wajah cemberut maksimal Senja naik ke lantai dua dan berjalan ke kamar Vidia. Di sana, Jingga masih sibuk merapikan rambut sebahu Jennie. Entah apa lagi yang dirapikan padahal menurutnya rambut Jennie sudah sangat rapi hingga membuatnya terlihat seperti habis keluar dari salon.

"Masih lama nggak? Kak Leo udah nunggu loh!"

"Udah!" sorak Jingga dengan senang lalu membantu Jennie berdiri.

"Yaudah, gue anter ke bawah," ujar Vidia mengajukan diri lalu meraih tangan Jennie dan menuntunnya berjalan ke lantai bawah.

Sesampainya di lantai bawah Leo tampak langsung verdiri menatap Jennie. Namun, sebuah sesal muncul dalam hatinya. Seharusnya ia dari awal meminta Vidia untuk mendandani gadisnya, bukannya menyuruh kedua adiknya atau lebih tepatnya Jingga.

Padahal tadinya Leo ingin mengajak Jennie nonton film. Kebetulan Apta kemarin menyarankannnya untuk melakukan ini dan merekomendasikan satu judul film. Film yang direkomendasikannya itu film bergenre romansa yang bisa Leo tebak penuh adegan manis yang bikin wanita meleleh. Sebenarnya itu bukan gayanya, tapi kata Apta itu adalah pilihan terbaik untuk kencan pertama.

Tapi ... melihat gaun yang dipakai Jennie sekarang, apa seharusnya ia mengganti tempat tujuan mereka saja? Pakaian gadis itu memang bagus dan cantik, tapi jika digunakan masuk ke dalam mal Leo rasa kekasihnya itu malah tidak akan nyaman. Karena ia sangat yakin Jennie akan jadi bahan tontonan karena pakaiannya yang salah tempat.

"Kak Leo, kok lo ngelamun sih?"

Mata Leo mengerjap beberapa kali dan menatap ke arah Vidia yang memandangnya bingung, lalu ke arah Jennie yang menampilkan ekspresi yang sama. Sedetik kemudian wajah lelaki itu dirambati sebuah senyum yang membuat Jennie ikut tersenyum.

"Yaudah, gue pergi dulu, Vid," ujar Leo pada akhirnya dengan tangan yang bergerak meraih tangan Jennie yang semula ada pada genggaman Vidia. "Nenek lo nggak masalah Jennie tinggal sementara di sini, kan?"

Vidia bergerak mengelus dagunya dengan tangan lalu memandang Leo dengan pandangan menyindir. "Bukannya telat ya kalau lo tanya begitu? Harusnya lo ngomong kayak gitu waktu pertamakali datang."

Leo justru cengengesan dan memutuskan untuk tidak mendebat gadis indigo itu lebih lama lagi. Memutuskan hal yang sama, Vidia akhirnya berjalan ke depan rumah untuk mengantar Leo dan Jennie sampai di mobil yang terparkir di depan rumah.

"Selamat bersenang-senang," teriak Vidia dengan kedua tangan melambai saat mobil Leo sudah mulai berjalan.

***

Leo akhirnya memutuskan membawa Jennie ke sebuah tempat yang mungkin tidak banyak diketahui banyak orang. Sejak dulu tempat itu tidak banyak berubah, dan jika dipikir lagi tempat itu adalah tempat yang bersejarah baginya. Walau itu justru terjadi secara tidak sengaja.

"Hutan?"

Kepala Leo tersentak saat mendengar suara Jennie dan tersenyum sekilas sebelum akhirnya turun dari mobil dan membuka pintu untuknya. Saat pintu dibukanya, wajah Jennie tampak bersemu merah dan dengan malu-malu meraih tangannya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat manis, dan Leo yakin lebih jndah dari pemain utama film romansa yang gagal mereka tonton. Jennie menurut saat Leo terus nenuntunnya ke dalam hutan dan akhirnya berhenti di sebuah semak-semak yang lebat dan tinggi.

"Kak Leo, kita mau ke mana?"

Leo hanya tersenyum padanya, senyum yang sejak kali pertama melihatnya langsung menjadi favoritnya, dan mungkin juga untuk selamanya. "Kita harus sampai dulu biar kamu tahu."

Jennie tersenyum mengerti, memutuskan untuk mempercayakan seluruhnya pada Leo. Lagi pula laki-laki ini tidak akan mungkin membawanya ke suatu tempat yang berbahaya. Walaupun awalnya Jennie memang sedikir risih saat melewati semak-semak yang cukup tinggi, tapi setelah melewatinya, apa yang ada di hadapannya mampu membuat dirinya berdecak kagum.

"Wow."

"Wow?"

Kepala Jennie tertoleh ke samping dan langsung dihadapkan dengan wajah Leo yang terlihat eternal disirami cahaya malam yang ada di sekitar mereka. Laki-laki itu tersenyum padanya yang lantas membuatnya ikut melakukan hal yang sama bahkan tanpa berpikir.

"Kenapa?"

Jennie gelagapan dan cepat-cepat menghadap ke depan. Menghadap pada padang rumput yang dipenuhi dengan kunang-kunang. Pemandangan malam hari memang begitu indah ditambah dengan suara-suara malam yang membuat dirinya semakin tenang. Melihat pemandangan seperti ini sedikit mengingatkannya dengan dimensi sihir yang sudah ia tinggali dalam waktu yang lumayan lama.

"I ... itu, pemandangannya indah."

"Pemandangannya yang indah, atau justru ... aku yang indah?" tanya Leo dengan maksud menggoda yang disambutnya dengan dengusan. Jennie jadi khawatit Leo tertular penyakit terlalu percaya diri dari temannya yang bernana Apta. Vampir yang satu itu benar-benar ... aneh.

"Bercanda. Baiklah, kalau begitu, duduklah," ujar Leo yang kemudian duduk begitu saja di atas rumput kemudian diikuti oleh Jennie.

Sesaat keduanya terdiam dengan pandangan yang terarah pada kunang-kunang yang entah berapa jumlahnya. Hewan-hewan malam itu terbang tentu arah, membuat mata yang memandang mereka dari jarak yang cukup jauh seperti menatap ke arah bintang-bintang yang bergerak.

"Terimakasih," ujar Leo tiba-tiba dengan mata yang masih memandang ke depan.

Jennie mengernyit. "Terimakasih? Untuk apa?"

Leo menoleh ke arahnya dan menatap matanya dalam. Sedetik kemudian vampir bermata hijau itu tersenyum padanya. "Terimakasih sudah kembali padaku."

"Bahkan saat aku tidak mengingat jati diriku sebagai Jennie?"

Leo mengangguk sekali. "Iya."

"Jangan berterimakasih sekarang, karena entah kenapa aku merasa akan ada hal buruk yang terjadi di antara kita. Mungkin lebih tepatnya antara kedua bangsa kita."

Hela napas panjang terdengar dari Leo. Gadis di sampingnya benar. Sekarang, terlalu awal baginya untuk berterima kasih.  Sesuatu yang akan mereka hadapi ke depannya tidak bisa menjamin membuat mereka bisa bersama seperti saat ini.

"Kamu benar. Kalau begitu, aku akan menggantinya."

"Menggantinya?"

"Iya."

"Menggantinya dengan apa?"

"Terimakasih karena tetap mencintaiku."

Mau tidak mau suara Leo yang masuk ke gendang telinga membuat dirinya tersenyum. Kalau seperti ini Jennie rasa ia rela melakukan apapun demi untuk hanya bisa bersama laki-laki di hadapannya. Sekaipun itu harus membuatnya kehilangan nyawanya.

***








HIRAETHWhere stories live. Discover now