20

1.2K 142 1
                                    


Awalnya, Leo sempat mengira kedatangan kedua adiknya ke dimensi sihir ini terjadi berkat mulut ember Adit, tapi ternyata kecurigaannya salah. Adik kembarnya itu justru datang ke sini berkat Vidia. Seharusnya Leo bisa memprediksi itu, karena dua adiknya adalah kombinasi yang tepat dalam hal penyelidikan. Kemampuan melihat masa lalu juga kemampuan menghentikan menghentikan pergerakan.

"Kamu memikirkan sesuatu?"

Kepala Leo tertoleh pada Jennie yang baru saja duduk di sampingnya. Wajahnya kontan tersenyum saat melihat wajah Jennie yang tersenyum.

"Hanya memikirkan tentang kedua adikku."

Hela napas terdengar dari Jennie dan langsung menarik perhatiannya. Leo dapat dengan jelas melihat jika gadis itu tengah gusar. Tentu saja, dia baru saja kabur dari kakaknya sendiri. Mengikutinya hanya bermodalkan instingnya yang mengatakan jika dirinya benar. Leo tahu ini akan berefek buruk pada kaum manusia serigala dan vampir sendiri yang hubungannya sudah buruk, tapi hanya ini jalan satu-satunya agar dia bisa bersama Jennie-nya.

"Kamu menyesal ikut denganku?"

Cepat-cepat Jennie menggeleng. Bukan menyesal yang dirasakannya, ia justru lega karena memutuskan untuk mengikuti Leo.

"Lalu?"

Mata Jennie menatap mata hijau milik Leo. "Aku hanya ... menebak apa yang akan terjadi setelah ini dan itu membuatku sedikit khawatir."

Seakan merasakan hal yang sama dengan Jennie yang duduk di atas rerumputan di tengah malam, Leo menatap sebentar ke arah gadis itu kemudian beralih ke langit. Tempat banyak bintang saling berjejal tanpa banyak menyisakan tempat kosong. Sungguh pemandangan yang sangat indah dan tentunya tidak akan bisa ditemukan di langit malam Jakarta yang dipenuhi oleh asap polusi.

"Aku juga khawatir tentang apa yang terjadi ke depannya. Tapi, yang pasti aku berharap semuanya bisa diselesaikan...." ujar Leo yang kemudian kembali menatap Jennie.

Jennie tersenyum padanya, senyum yang masih saja tampak khawatir. Mata gadis itu juga ikut tersenyum walau ada sorot lelah yang sangat nampak. Leo pun merasakan hal yang sama, kelelahan. Setelah kabur dari tempat itu mereka berempat berlari cukup jauh di tengah cahaya rembulan hingga merasa sudah aman dan akhirnya singgah di tempat ini.

"Dengan baik," lanjutnya kemudian yang membuat kekhawatiran itu sirna dari senyum Jennie.

"Aku juga harap begitu."

"Kak!!"

Itu adalah teriakan Senja yang berada tidak jauh dari belakang punggung mereka berdua. Senja sedang duduk berjejer besama Jingga di depan api unggun yang langsung mereka—lebih tepatnya Leo—buat setelah memutuskan singgah. Wajah adiknya itu tampak lelah dan mengantuk.

"Apa?"

"Sini deh!!" jawab keduanya kompak dengan lambaian tangan yang mengisyaratkan agar Leo mendekat.

Sebenarnya Leo enggan untuk menghampiri kedua adiknya, karena paling-paling mereka akan membuatnya menonton pertengkaran khas anak kembar mereka. Tapi, karena Jennie yang ada di sampingnya mengisyaratkan untuk menghampiri adiknya, mau tak mau ia berdiri dan berjalan ke arah api unggun. Padahal kalau disuruh memilih Leo tentu bakal memilih untuk tetap duduk di samping Jennie. Ia sudah terlalu kenyang—menuju ke muak melihat perdebatan dan pertengkaran dua adiknya.

"Apa?" tanya Leo dengan ketusnya.

"Idih ... ketus banget sih. Kesel ya, acara mesra-mesraannya di ganggu?" balas Senja dengan nada jahil yang terdengar jelas di telinganya.

Mesra-mesraan? Apanya yang mesra? Ia hanya duduk berdampingan dengan Jennie dengan mata yang mengarah ke bintang-bintang. Apa itu bisa disebut mesra?

"Nggak penting kan, ya? Yaudah, gue balik ke sana." Leo berbalik dan bersiap untuk kembali pada tempatnya semula. Namun sebelum ia bisa melangkah Jingga dengan hebohnya memblokir jalannya dengan badan serta kedua tangan yang direntangkan.

HIRAETHTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon