24

1.3K 144 1
                                    

Setelah mereka semua selesai sarapan, pasutri itu mengajak mereka naik ke lantai atas. Di sana hanya ada satu ruangan luas yang sangat menarik perhatian. Dikatakan menarik karena di dinding juga atap-atapnya dipenuhi ukiran yang diberi dicat sedemikian rupa hingga membuatnya tampak seperti karya seni yang tiada duanya.

"Kita akan melakukannya di sini?" tanya Jingga membuka suara setelah beberapa saat mereka sampai.

Alardo mengangguk dan berjalan pada sebuah ukiran besar berbentuk lingkaran yang hampir memenuhi salah satu sisi dinding yang paling luas. Niza lalu mengisyaratkan pada mereka berempat untuk mengikuti Alardo dan berhenti di depan ukiran itu. Keempatnya menurut dan berdiri berbaris mengikuti arahan yang dibuat keduanya.

"Kalian siap?"

"Tunggu ... tunggu ... kita akan lewat sini?" Leo menoleh tidak yakin pada Niza yang berada paling dekat dengannya.

Kepala Niza mengangguk sekali lalu berjalan ke arah suaminya yang berada di seberang. Dengan kompak pasutri itu menggerakkan kedua tangannya beberapa saat hingga lingkaran di depannya mengeluarkan sebuah cahaya menyilaukan yang kontan membuat mereka menutup mata sejenak hingga akhirnya bisa membiaskan cahaya itu pada matanya. Segalanya terjadi begitu cepat dan alami hingga mereka berempat tidak menyadari jika pasangan itu baru saja menggunakan sihirnya.

"Masuklah," perintah Alardo sesaat kemudian.

Dengan kompak mereka berempat mengangguk dan membuat keduanya tersenyum.

"Terimakasih untuk bantuannya," ujar Leo dengan tulus.

Keempatnya kemudian berjalan masuk ke dalam cahaya itu. Semakin jauh langkah mereka cahaya itu semakin menyilaukan mata hingga membuat mata mereka otomatis terpejam. Namun seiring dengan langkah yang mereka ambil cahaya menyilaukan itu perlahan sirna. Sempat ragu dengan apa yang dipikirkannya Leo akhirnya membuka mata. Dan entah bagaimana caranya mereka berada di sebuah kamar entah miliki siapa. Kamar itu begitu feminin menunjukkan jika pemiliknya adalah perempuan. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, kamar siapa ini?

"Kayaknya gue kenal kamar ini."

Kepala Leo tertoleh pada Jingga yang baru saja bersuara. Mata adiknya itu berkeliling mengitari seluruh ruangan. Berusaha keras mengenali hingga ada satu nama yang melewati otaknya.

"Oh iya! Ini 'kan kamar—"

Dan sebelum adiknya itu bisa menyelesaikan ucapannya, pintu kamar itu terbuka. Menampilkan sosok gadis pemilik kamar yang dibuat terperangah sejenak dengan apa yang baru saja dilihatnya hingga....

"Aa!!!"

"Jennie!!"

Ya, kamar itu adalah milik Vidia yang saat ini berlari ke tengah kamar. Tanpa basa-basi gadis itu langsung memeluk Jennie tanpa peduli bagaimana orang yang dipeluknya kebingungan.

"—Vidia." Jingga melanjutkan kalimatnya walau sebenarnya itu sudah tidak diperlukan.

"Jennie! Ya ampun ... lo kemana aja selama ini? Gue kangen banget sama lo. Aduh ... lo tambah cantik aja, sih." Vidia berujar antusias dengan tangan yang bergerak cepat pada wajah Jennie lalu beralih ke rambut tanpa memedulikan bagaimana keempatnya masih bingung dengan keberadaan mereka di kamar ini.

"Vid—" Leo tidak sempat bicara karena suara Vidia yang kembali terdengar.

"Pokoknya lo harus janji, kalau lo bakal ceritain apa yang terjadi selama ini. Oke?"

"Vidia."

"Ya?"

Dan Leo bisa bernapas lega saat gadis indigo menoleh ke arahnya. Tangannya bergegas meraih bahu gadis itu agar memberi sedikit jarak pada Jennie yang terlihat terkejut dan tidak nyaman.

HIRAETHWhere stories live. Discover now