Bab 46 ǁ Mimpi dan Cinta yang Terbunuh

9.8K 1K 56
                                    

Jadi benar, kamu adalah sosok kakak yang Valerie ceritakan, batin Haikal sebelum menoleh pada Radit yang tidak lepas menatap Valerie. Pantas saja Valerie tidak pernah menyebutkan nama seorang Radit Pranaja karena tahu hal ini akan terjadi.

Perkataan Radit layaknya vonis mati bagi Valerie. Ruangan pun menjelma menjadi tempat penyiksaan. Radit memberikan kepiluan lebih parah daripada ketika Valerie tahu tentang taste disorder-nya sekitar tiga tahun lalu. Sebab, dulu harapan untuk dapat terjun di dapur dan menjadi chef sungguhan tidak sebesar sekarang.

Rasanya begitu menyakitkan dan pedih ketika harapan besar yang sudah digenggam dan mulai menjadi kenyataan harus lenyap begitu saja. Bagaikan beribu jarum tajam menancap hati dengan cepat. Membuat darah yang sudah menyatu dengan aliran harapan tersebut mengucur deras tanpa arti.

"Saya memberi dua pilihan, buat surat pengunduran diri sekarang juga atau saya buatkan surat pemecatan dan besok kamu tidak bekerja di sini lagi," ancamnya.

Tidak dipungkiri apa yang Radit katakan membuat ketiganya membelalak spontan.

"Radit?" Haikal coba menahan gertakan. Tidak percaya dengan mulut tajam teman satu fakultas kakaknya itu.

Valerie tidak sanggup bersuara. Mulutnya yang menganga hanya bergerak-gerak antara karena getaran tangis dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidah kelu. Ia meremas apron untuk menyalurkan kekesalan pada diri sendiri karena begitu tidak berdaya.

"Haikal, dia tidak bisa merasakan makanan apa pun! Dia pegawai cacat dan aku tidak bisa menerimanya," sarkasnya. Tidak peduli orang itu adalah adik kandung sendiri.

Valerie menguatkan diri untuk berdiri. Haikal yang melihatnya pun membantu dengan menopang lengan kirinya. Setelah kedua kaki lemasnya berhasil tegak, ia memperhatikan wajah berahang kokoh berselimut kebencian itu.

"Tapi tidak seharusnya ucapanmu seperti itu, Dit," sahutnya dingin. "Keadaan tidak membuat kinerja Valerie buruk. Buktinya, dia mempunyai skill memadai sebagai chef."

Radit memicing. Meneliti raut wajah dan intonasi bicara, ia curiga. "Kamu sudah tahu ini?"

"Ya." Haikal tanpa pikir panjang menjawab.

Radit mendengkus kesal diiringi seringai. Ia mulai menyalurkan pancaran pertentangan lewat tatapan dan mengangguk pelan tanda mengerti apa yang perlu segera dilakukannya.

"Apa Anda juga mengetahuinya, Chef?" selidik Radit tanpa mengalihkan arah pandang pada Haikal.

Haikal dan Gauzan saling melempar tatap. Haikal memberi isyarat tegas lewat mata untuk menyangkal.

"Saya sebenarnya juga terkejut karena selama ini kinerja Valerie terli-"

Radit tidak ingin mendengar lebih lanjut karena merasa cukup dengan jawaban itu. "Bisa tinggalkan kami bertiga, Chef?"

Gauzan yang tahu akan perangai Radit jika sudah memberi titah pun menurut tanpa bantahan. Ia tidak dapat berbuat apa-apa meskipun sebenarnya ingin membantu.

Jika saja orang yang Valerie dan Haikal hadapi bukan Radit, gadis itu akan berada di lini depan untuk menangani masalah ini. Ya, meskipun Haikal telah mengatakan ingin bertanggung jawab penuh. Namun nyatanya, yang sedang mereka hadapi bukanlah orang sembarangan, apalagi diperkuat dengan fakta bahwa Radit adalah kakak kandung Valerie.

Dengan menyunggingkan smirk, Radit memasukkan tangan kiri di saku celana suit-nya sementara sebelah kanan menunjuk Haikal. "Aku curiga satu hal. Kenapa orang sepertimu mau melakukan hal berisiko untuknya? Huh! Padahal, kamu menetang keras dan tidak suka ada chef perempuan di dapur, tapi sekarang kamu justru terlihat mau mempertahankannya. Apa aku salah?"

Tasteless ProposalWhere stories live. Discover now