Bab 42 || Tingkah Mencurigakan

10K 956 4
                                    

Saat Valerie kembali ke tengah-tengah para rekan kerjanya, ia mendengar Lutfi menahan geram seraya berkata, "Kamu—"

"Kak, tenanglah!" Maha menepuk pundah Lutfi tiga kali seraya memberikan tatapan yang selaras dengan ucapan, kemudian beralih menyelidik ke Dito. "Benar kamu yang mengadu pada Chef Gauzan, Kak?"

Laki-laki itu melemparkan tatapan hina pada Valerie. Tersenyum licik, ia mendengkus. "Memangnya, siapa lagi yang berani selain aku?"

Belum genap 3 detik berlalu, satu pukulan nyaris mendarat sempurna di pipi kiri Dito. Valerie dibantu Maha berhasil mencegah dengan cara menahan lengan yang sudah menggantung di udara. Tangan kiri Valerie yang belum sembuh tentu menyulitkan usaha tersebut jika sendirian.

"Apa kalian pikir ini arena tinju?" Gelegar suara tegas Haikal menginterupsi semua.

Empat pasang mata yang sempat menonton pun kembali fokus pada pekerjaan. Tidak berani tetap menyimak kelanjutannya karena kehadiran Haikal. Bisa-bisa mereka juga akan terkena amukan petinggi kedua kitchen sini—di bawah posisi Executive Chef.

Dito dan Lutfi saling melempar sorot sengit sebelum akhirnya kembali bekerja.

"Kamu bantu Maha dulu!" titah Haikal pada Valerie.

"Ya, Chef!"

Setelahnya, semua yang ada di ruangan nayris tidak mengeluarkan suara lewat bibir. Suara tinggai Haikal tadi cukup ampuh membungkam keadaan. Kemudian, mereka kembali berkutat dengan tugas masing-masing. Memang sesekali ada bisik-bisik, membicarakan kejadian barusan.

Ketika jam istirhat tiba, Lutfi dan dua temannya menyeret Haikal dan Valerie untuk diinterogasi. Mereka memilih makan siang di meja paling pojok rest room. Dengan pertimbangan, posisi tersebut meminimalisir ada orang yang akan mendengar.

"Apa yang kalian bicarakan di dalam sana?" Lutfi adalah orang pertama yang membuka percakapan.

Haikal menceritakannya tanpa keberatan. Namun, tidak tentang dirinya yang akan bertanggung jawab. Ia pikir, itu tidaklah penting untuk mereka ketahui.

"Val, are you OK?" Adnan yang diam menyimak pun mencemaskan Valerie.

Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Menandakan bahwa sudah merasa lebih baik, kemudian menatap tulus laki-laki di sisi kirinya. "Terima kasih ya, Chef."

Lutfi langsung termenung dan memicing curiga pada laki-laki yang duduk di hadapannya. Pasalnya—berdasar cerita barusan—, Haikal tidak berbuat apa-apa selain memohon dan menceritakan masa lalu Valerie secara singkat hingga dapat berakhir di pastry kitchen. Pasti ada yang Haikal sembunyikan dari mereka.

Haikal meletakkan dinner spoon, lalu membalas tatapan itu. Ia tersenyum tipis dan menepuk pelan kepala Valerie dua kali. Jelas, tindakan tersebut membuat ketiga temannya memusatkan arah pandang ke dirinya.

"Wah!" Lutfi berdiri sambil menggebrak meja. Membuat beberapa orang yang duduk di sekitar mereka menoleh sesaat.

Si perempuan kagetan alias Valerie berjengit, lalu menatap protes. Mendongak, ia meneliti raut wajah Lutfi. Dirinya segera tahu arti itu—Lutfi siap mengeluarkan ocehan.

"Chef mau memacari adik saya, ya?" Ketidakpercayaan terpancar dari kedua bola matanya.

Maha yang berada di sisi kanan Lutfi pun berdiri, lalu membekap mulut ember itu. Ia memaksa duduk dan berbisik, "Diamlah, Kak!"

Laki-laki yang memiliki potongan rambut paling cepak di antara mereka itu bukannya tidak setuju dengan isi pikiran Lutfi. Ia sebenarnya juga merasa demikian, tetapi tidak ingin mengungkap secara verbal.

Valerie setengah beruntung. Sebab, kakak angkatnya itu tidak langsung menyebut nama. Jika hal itu terjadi, keadaannya di sini akan terasa makin tidak nyaman. Tentu saja karena mereka—Haikal dan Valerie—akan menjadi bahan gosip panas mengingat seberapa besar sepak terjang Haikal di Dellacato.

"Teruskan makanmu!" Alih-alih meladeni, Haikal meyenggol lengan perempuan yang masih saja menembakkan tatapan laser pada Lutfi.

Valerie tersadar, lalu menurut meskipun dalam hati ngedumel. Ingin rasanya ia memelintir mulut berkampas aus itu.

"Kapan kamu buka jahitan?"

"Insyaallah besok, Chef. Saya libur." Valerie menoleh dan masih dengan mulut setengah penuh oleh nasi serta daging rendang.

"Maaf, saya tidak bisa menemani," ucapnya, lalu kembali menyendok isi dinner plate putih.

Percakapan itu akan terdengar normal jika Adnan yang bicara. Namun, lain hal jika Haikal yang mengatakannya. Siapa pun yang mengenal Haikal pasti akan berpikir sama, yaitu; aneh, seperti bukan Haikal, atau penilaian lain semacam itu.

Tidak ada raut datar, sorot dingin, dan suara yang syarat akan ketegasan. Mereka tadi jelas menangkap suara penuh perhatian diiringi sorot mencemaskan.

"'Oh, dia sudah kami tangani! Sekarang sedang masa pemulihan dari obat bius. Silakan, Pak! Suaminya sedang pergi sebentar'." Lutfi mengutip satu percakapan seorang suster di rumah sakit saat itu dengan suara mirip tikus terjepit. Dua tangannya meniru si Suster; tangan kiri seolah-olah membawa berkas di depan dada sementara yang kanan terlentang mengarah ke ruang rawat IGD.

Saat itu, mereka bertiga menyusul menggunakan mobil Adnan. Maha tiga kali menelepon Haikal ketika hampir sampai, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya, mereka bertanya langsung pada petugas begitu masuk di ruang tersebut. Pertama, ke nurse station. Kedua, pada suster yang melintas dan mengatakan kalimat tersebut.

Valerie mendesis sebal dan mengeratkan genggaman pada benda stainless steel di tangan. Ia menatap penuh peringatan. "Diam, Kak! Jangan mem-bully-nya! Chef Haikal sudah sangat membantuku."

Maha menahan tawa mendengar kata "bully". Itu terasa sangat aneh jika diterapkan untuk laki-laki seperti Haikal Zeindra. Pemilihan kata Valerie sungguh payah!

"Bully?" Haikal merasa harga dirinya terjun bebas.

"Iyaaa, maksud saya .... Ah, pokoknya, Kak Lutfi atau siapa pun jangan mengatakan aneh-aneh pada Chef! Chef sudah mempertaruhkan pekerjaan demi aku, tahu?" Valerie menggerak-gerakkan garpu di udara. Membidik sepasang mata milik lawan bicaranya.

"Jadi, cuma kamu yang boleh mengatakan hal aneh? Seperti memanggilnya dengan sebutan Macan Kutub?" goda Lutfi seraya memamerkan senyum jail.

"Apa maksudmu?" Kali ini, Adnan yang bersuara. Ia yang pertama kali notice akan kalimat terakhir Valerie.

"Diam, Kak!" geram Valerie sebelum melirik Haikal yang kini menatapnya tajam.

"Jangan bilang, Chef akan bertanggung jawab penuh?" tanggap Maha atas pertanyaan Adnan.

Semuaterdiam. Tatapan mereka hanya tertuju pada Haikal yang menampakkan raut tidakterbaca. Namun, mereka yakin apa yang dikatakan Mahaadalah benar karena atasan mereka itu tidak mengatakan apa-apa.

09.57 WIB, 7 Februari 2024

Thanks for your apreciation,
Fiieureka

Tasteless ProposalWhere stories live. Discover now