Bab 25 ǁ Rasa Ingin Melindungi

12.1K 1.1K 17
                                    

"Untung aku tidak memercayaimu," tutur Adnan begitu langkah kaki cepatnya berhenti tepat di hadapan perempuan yang menangis sesenggukan. Kerutan di dahinya menegaskan akan sebuah kecemasan yang sangat.

Perempuan yang kini kedua bahunya berada dalam lingkup jemari Adnan bersikap tidak acuh. Ia terus mengalirkan sedih, kecewa, dan rindu yang mengaduk-aduk ketenangan hati dalam bentuk air mata. Batinnya berulang kali bertanya, Mengapa? atau, Aku harus bagaimana?

Sesaat kemudian, Valerie merespons kehadiran laki-laki berkaus putih panjang itu. Ia menunduk dalam menyembunyikan isakan meskipun tahu percuma. Kedua tangan menapak lantai, menumpu tubuh yang luruh. Dirinya mengutuk diri sendiri karena benar-benar ketahuan lagi.

Adnan bergeser sedikit untuk lebih ke kiri. Ia merangkul bahu Valerie dari belakang. Tangan kanannya menepuk-nepuk pelan bahu perempuan itu dengan penuh kehangatan. Ia berharap perlakuan itu dapat meredakan tangisnya.

"Val, ayo! Kita cari tempat yang nyaman," ajaknya lirih.

Valerie mengangkat wajah sembapnya. Ia menyedot ingus tangis kuat-kuat dan menyekanya menggunakan lengan kanan, kemudian sedikit menyingkirkan rambut yang menutupi pandangan. Ia berdiri dibantu Adnan.

Valerie merogoh tas untuk mengambil tisu beberapa lembar. Tangan kanannya menyapu cepat jejak air mata dan cairan di hidung masih dengan sesenggukan. Setelah merasa tampilan wajahnya lebih baik meskipun sisa cairan bening itu masih mendesak di pelupuk, ia mengambil oksigen dengan rakus. Paru-parunya perlu asupan zat tersebut untuk kembali bekerja dengan baik. Kakinya melangkah lunglai begitu rasa tenang mulai merayapi hati.

Adnan menggeleng pelan melihatnya. "Harusnya sejak tadi kamu mengelap ingus memakai tisu. Kenapa mengotori lengan baju kalau ada tisu? Ck, ck!" komentarnya heran sambil mengiringi langkah Valerie.

Satu sodokan mendarat di perut kanan Adnan. Membuat laki-laki itu mengaduh dan melepaskan kedua bahunya. Mata merahnya melirik kesal. "Mana kepikiran, Kak?!" ucapnya lirih dengan suara serak.

"Maaf." Jemari kiri Adnan membentuk huruf V di depan wajah sembap itu.

Mereka menuju sebuah kafe yang berada di lantai 4 gedung atas saran Adnan. Ia ingin mengajak Valerie mengobrol sebentar sembari mengembalikan mood. Dirinya khawatir jika harus melepas Valerie pulang dengan keadaan kacau seperti ini.

Valerie berdecak ketika mendengar sebuah pertanyaan yang membutuhkan penjelasan panjang. "Kak Adnan terlalu ikut campur," ucapnya kemudian sambil menutup buku menu.

"Itu karena aku peduli padamu." Iris hitam Adnan menatap dalam.

Valerie membalasnya dengan memicingkan mata. "Atas dasar ...?" selidiknya.

Adnan melipat kedua tangannya di atas meja. Bibirnya membentuk lengkung ke atas penuh arti. "Apa harus beralaskan?"

"Tentu!" sahut Valerie cepat dan yakin.

Laki-laki pribumi-karyawan yang rumahnya dekat dengan hotel-itu diam-diam merasa lega. Sebab, Valerie terlihat mulai melupakan kejadian menyedihkan tadi. Ia berhasil mengalihkan pikiran gadis tersebut.

"Karena aku ingin lebih mengenalmu," akunya tulus.

"Baiklah!" Valerie menyahut enteng, menelan bulat-bulat ucapan tersebut. Kemudian, ia menegakkan jari satu per satu sambil bertutur, "Kakak sudah tahu namaku, pekerjaanku, sifatku, dan bahkan latar belakang keluargaku juga sudah tahu. Malahan Kakak adalah orang pertama yang tahu tentang Kak Radit yang ... ya, Kakak tahu deh maksudku! Lalu ... tentang alasanku be-"

Adnan yang serius menyimak pun menaikkan sebelah alis. Sorot matanya mengisyaratkan tanda tanya besar karena kalimat tidak selesai itu.

Valerie mengatupkan bibir rapat-rapat dan berkedip cepat dua kali. Ia sadar hampir keceplosan tentang alasan bekerja di Dellacato. Beruntung ingatannya segera menampilkan sosok berbeda-Haikal-yang mengetahui hal tersebut.

Tasteless ProposalDonde viven las historias. Descúbrelo ahora