Bab 8 ǁ Apa Pun Hanya Satu Rasa

16.9K 1.5K 26
                                    

Secepat kilat Valerie melarikan kedua tangan dari pinggir meja kerja ke sebuah lengan yang membuat berat bahu. Ia memutar tubuh seraya mengangkat dan memelintir pergelangan tangan orang itu hingga membuat mereka berhadapan. Orang itu berseru, tetapi tidak berhasil menghentikan gerakan refleks tersebut. Mata Valerie membelalak ketika melihat wajah si pelaku.

"Ya ampun! Kak Lutfi, maaf!" Ia buru-buru menjauhkan jemari, lalu mengangkat kedua tangan seperti seorang tersangka dengan air muka bersalah dan kaget.

Belum sempat laki-laki itu mengeluarkan suara, Dito sudah berdiri di antara mereka. Ia menatap tajam Valerie. "Kamu mau membuat Lutfi tidak bisa bekerja karena cedera tangan, ha?!" hardiknya sambil mendorong kasar bahu Valerie.

Adnan yang mengekor dengan sigap menahan tubuh itu sementara tangan kanan Valerie segera mencengkeram pinggir meja supaya wajahnya tidak sampai mencium lantai.

Lutfi mengibaskan tangan kiri—yang bukan menjadi sasaran Valerie—, pertanda tidak masalah meski sebenarnya menahan sakit sedikit di tangan kanan. Namun, ia menampakkan raut wajah netral dan melempar senyum pada Valerie. "I'm okay."

"A-aku pikir—"

"Penjahat?" Haikal yang beberapa detik lalu memperhatikan sambil cuci tangan pun memotong. Ia baru saja selesai mengeringkan tangan. Ingatannya kembali pada dua minggu lalu saat mereka bertemu di pinggir jalan.

Valerie menoleh ke seberang meja. Ia menatap protes laki-laki yang berjalan santai menuju hot kitchen setelah berujar. Sesaat kemudian, tatapannya kembali pada Lutfi yang memang terlihat baik-baik saja. Namun, ia tetap merutuki diri sendiri karena melamun di tempat kerja dan hampir mencelakai rekan kerja lagi. Mempunyai refleks yang bagus tidak selalu menguntungkan. Refleksnya yang satu ini perlu dibenahi segera.

"Perempuan kasar!" umpat Dito sebelum menyusul Haikal.

"Bukannya kamu, Kak, yang kasar sama perempuan?" Maha setengah berteriak karena jarak mereka cukup jauh. Ia tadi melihat dengan jelas bagaimana Dito memperlakukan Valerie.

Mereka berempat berjalan keluar menuju ruangan sebelah. Lutfi kembali merangkul Valerie, tetapi kali ini menggunakan lengan kiri. Ia sedikit menunduk, lalu berkata, "Aku cuma mau mengajakmu makan. Adnan tadi sudah memanggilmu dua kali, tapi sepertinya kamu sedang melamun."

Valerie terkekeh-kekeh mendengar penuturan itu. Ia lantas menceritakan kebiasaan buruknya—melamun dan refleks menyerang jika kaget. Dirinya ingin mereka tahu, lalu mengingat supaya lain kali waspada dan tidak celaka.

"Kamu tahu cara mempertahankan diri, eh?" Lutfi setengah menggoda juga memuji.

"Mau kutunjukkan?" Valerie berhenti tepat dua langkah di luar pintu.

Lutfi langsung menyingkirkan lengan dari bahu perempuan tomboi itu. Setelahnya, berjalan mendahului dengan tatapan lurus ke depan dan berkata, "Tidak, terima kasih."

Dari balik punggung Lutfi, Valerie menghadiahi tatapan jail seraya bertanya, "Apakah ini jiwa pecundang?"

Lutfi memegang dada dan mulut menganga seolah-olah syok berat mendengar kalimat tersebut. "Tidakkah kamu salah orang? Uuuh, harga diriku terluka!"

Valerie tertawa lirih dan berjalan cepat. Ia meninggalkan dua orang laki-laki yang hanya mendengarkan obrolan mereka. Ia tanpa canggung melingkarkan tangan di lengan kanan Lutfi.

"Kamu menyukaiku?" tanya Lutfi random.

Valerie mengalihkan lima jemarinya ke pergelangan tangan Lutfi, lalu sedikit memutarnya. "Mau kupatahkan betulan nih?!"

"Enak saja!" Lutfi menarik lengannya, lalu dengan santai dan penuh imajinasi, ia berkata, "Aku ingin kedua tanganku selalu sehat walafiat karena sudah ditunggu wali jodohku untuk menjabat tangannya di depan penghulu, tahu?"

Tasteless ProposalWhere stories live. Discover now