Bab 41 ǁ Nyaris Tidak Terkendali

10.2K 999 51
                                    

"Haiish, apa yang mereka bicarakan di dalam, sih?" gerutu Lutfi. Sudah setengah jam Haikal dan Valerie menghilang dari balik pintu itu.

"Berdoa saja semoga mereka bisa mengatasinya. Feeling-ku tidak enak sejujurnya." Adnan menanggapi sembari membuat whipped cream.

"Aku juga ... tadi sempat kulihat muka Pak Kumis tegang. Pikiranku langsung ingat pada kejadian dua hari lalu dan ada hal yang membuatku takut." Lutfi menoleh ke kiri di mana rekannya itu berdiri.

Adnan melirik selidik. Ia sedikit memutar badan menghadap Lutfi. "Apa?"

"Aku takut ada orang yang melaporkan Valerie ke Chef Gauzan." Lutfi curiga.

Adnan kembali melihat telur kocok di mixing bowl yang sudah setengah kaku. Ia menggerakkan kepala ke kanan-kiri pelan. Tanda tidak setuju dengan ucapan tersebut. "Aku yakin mereka yang mendengar ucapan Dito tidak akan berani. Chef Haikal juga sudah membungkam mereka."

Lutfi sedikit mengerucutkan bibir dan mengangguk setuju. "Kurasa, Chef memang bisa melindungi Valerie," cetusnya dengan tangan yang terus membuat bulatan berwarna hijau yang diisi irisan gula merah.

Adnan memilih bungkam. Ia terus mengocok putih telur hingga kaku. Dirinya tidak ingin mengakui secara verbal bahwa ucapan Lutfi benar. Cukup dalam hati saja karena jujur, ia merasa iri.

Lutfi menoleh setelah 5 detik tidak ada tanggapan, lalu meneliti sejenak arti raut wajah Adnan. Merasa tahu sesuatu, ia menyenggol lengan kanannya. "Heii! Muka rasa apa begitu?"

"Harus kukatakan?" tanya Adnan retoris. Orang peka seperti Lutfi pasti dapat dengan mudah membacanya.

Laki-laki yang tinggal hanya tiga blok dari rumah Adnan itu pun mengibaskan tangan kiri sebelum kembali membentuk kelepon untuk snack coffee breaks. "Ah, tidak, jangan! Itu akan makin menyadarkanmu pada rasa cemburu."

Tepat ketika bibir Lutfi merapat, Adnan mendengkus. Kemudian, netra hitam Adnan menangkap sosok Valerie dari arah angka dua. "Valerie keluar," ujarnya.

Lutfi menoleh dan melihat adik angkatnya itu berjalan lesu dan menunduk ke arah mereka. Ia buru-buru menyelesaikan bulatan di tangan, lalu membalikkan badan untuk menghampiri gadis yang nampak seperti baru menyaksikan sebuah tragedi mengerikan.

"Valerie?" Lutfi mengapit pelipis Valerie menggunakan lengan di mana titik nadi berada. Ia mengangkat kepala itu untuk melihat wajah Valerie lebih jelas.

Valerie mendesis sambil menjauhkan lengan besar itu. Ia sangat merasa terganggu dan tidak nyaman. Pasalnya, kedua tangan Lutfi masih terbungkus sarung tangan plastik transparan.

"Apa?" tanyanya kemudian setengah menantang.

Tanpa aba-aba, Lutfi melingkarkan kedua lengan pada sisi tubuh Valerie hingga membuat wajahnya terkena chef hat. "Oh! Aku sangat mengkhawatirkanmu."

Dua detik kemudian, satu jeritan kesakitan lolos dari bibir Lutfi. Ia dengan cepat melepas pelukan, lalu menunduk. Terdapat bekas injakan Valerie di kaki kirinya. Itu terasa nyut-nyutan meskipun sudah menggunakan safety shoes. Tekanan kaki Valerie sungguh mengagumkan!

Valerie membenarkan posisi benda di kepala yang miring karena ulah Lutfi. Lantas ia menyeringai puas dan melipat kedua tangan di depan dada. Menatap kesal, ia berkata, "Terima kasih!"

Lutfi dengan cepat melingkarkan lengan di leher ketika Valerie mulai beranjak meninggalkannya. Membuat perempuan itu mengaduh dan chef hat-nya hampir lepas.

"Apa yang kalian bicarakan di dalam, eh?! Cepat beri tahu kakakmu ini!" todongnya sambil memiting.

Valerie mendesis kesal. Ia sedang tidak dalam mood membuat perlawanan ekstrim dengan mematahkan tulang Lutfi. Alhasil, dirinya hanya memberikan satu sodokan di perut.

"Tidak ada," gumam Valerie setelah lehernya terbebas. Sedetik kemudian, ia melangkah mendekati Adnan yang baru saja menyalakan kompor untuk membuat gula karamel.

"Kamu ketahuan, kan? Ada orang yang melaporkanmu pada Chef Gauzan."

Suara lantang itu membuat Valerie menghentikan langkah dan gerakan tangan yang sedang membenarkan chef hat. Ia refleks melirik Dito yang kini tengah menghujamkan tatapan tajam pada Lutfi.

Laki-laki itu sengaja menaikkan volume. Upayanya berhasil mendapatkan perhatian Dito. Dari jarak jauh—ujung satu ke ujung lain meja kerja—seperti ini cukup membuat Lutfi yakin bahwa laki-laki itu pelakunya.

Valerie membalikkan badan dan menatap lemah Lutfi. "Sudahlah, Kak! Chef Haikal akan mengurusnya." Ia tidak ingin Lutfi memperburuk atmosfer pastry kitchen yang sudah terasa tegang dua hari ini.

Namun nyatanya, kalimat tersebut justru membuat Lutfi meneguhkan hati. Ia mengetahui ada maksud tersirat dari ucapan Valerie bahwa memang Dito pelakunya.

Derap langkah cepat Lutfi membuat Valerie memekik, "Kak!"

Oh, jangan lagi!  Valerie berteriak dalam hati.

Aura permusuhan kembali menguar. Lutfi melepas cepat sarung tangan dan melemparkannya secara sembarang ke meja kerja. Langkahnya terus tertuju pada Dito yang terlihat tidak berdosa sama sekali. Laki-laki itu tengah berkutat dengan adonan fresh pasta.

"Kamu yang mengadu ke Chef Gauzan, kan?" tudingnya begitu berdiri di samping kiri Dito.

Laki-laki itu tersenyum culas, lalu menghadap Lutfi siap meladeni. Ia menatap remeh perempuan yang terlihat dari balik punggung Lutfi.

"Kenapa kamu langsung menuduhku?" tantangnya.

"Karena kamu yang selalu mencari masalah dengan Valerie."

Adu kata itu kembali menarik perhatian yang lain. Beruntung, jarum pendek sudah lewat dari angka delapan. Para chef shift malam sudah meninggalkan area kitchen sekitar 10 menit lalu.

"Heh! Dengar, ya!" Dito maju selangkah. Ia mengacungkan telunjuk di depan wajah Lutfi. "Meskipun aku tidak mengadu, perempuan cacat itu tetap akan ketahuan."

Otot-otot rahang kokoh Lutfi mulai terlihat. Ia menepis kasar tangan Dito. "Mulutmu perlu uji kelayakan!" geramnya.

"Ha!" Dito kembali menarik bibir ke atas dengan sinis. "Kenapa kalian selalu membelanya, sih?"

"Karena kita satu tim, Dito! Kita tim dan kita keluarga!" Lutfi berusaha menahan gejolak marah. Dirinya mulai tidak tahan dengan kelakuan laki-laki tersebut.

Kata terakhir sama sekali tidak dapat Dito terima. Menudingkan telunjuk ke dada lawan bicara, Dito menggeram, "Kamu saja!"

"Kak, sudahlah!" Valerie melerai sebelum benar-benar tidak ingin ada perdebatan. Apa yang akhir-akhir ini terjadi membuatnya lelah. Ia memegang lengan kanan Lutfi. Takut akan ada sebuah kepalan yang mendarat tiba-tiba di wajah Dito.

Adnan serta yang lainnya mulai menatap waspada. Ia ingin melerai, tetapi sedang memasak karamel. Maha yang akan mengambil stroberi beku di freezer untuk sorbet pun urung. Kakinya melangkah mendekat karena tidak ada yang terlihat akan melerai.

"Aku perlu memberi perhitungan padanya, Val." Tatapan tajam Lutfi tidak beralih dari Dito.

"Aku atau siapa saja yang melaporkan Valerie mengaku sekarang pun akan percuma. Manajemen akan tahu secepatnya dan Valerie dipecat." Dito terlihat begitu senang bisa mengatakan hal buruk tersebut.

Valerie mengepalkan tangan dan menatap Dito dengan nyalang. Meskipun itu terdengar benar, tetapi nada bicaranya tidak nyaman didengar. "Bagus deh tidak ada perempuan yang suka denganmu, Kak."

Kalimat tersebut meluncur spontan dari bibir Valerie. Ia lantas pergi begitu saja untuk menenangkan diri.


[61] Sorbet : makanan manis sejenis es krim, tetapi hanya menggunakan buah, gula, sirup, dan tambahan soft ice. Oleh karena itu, sorbet memiliki tekstur keras dan kasar.


15.46 WIB, 6 Februari 2024

Happy reading,
Fiieureka

Tasteless ProposalWhere stories live. Discover now