Bagian 27

18 5 0
                                    

Ini Rafi

Mengatahui resiko yang sangat besar jika terus berada di hutan ini membuat kaki kami melesat cepat melewati semak belukar, rawa, hingga hutan rimba yang gelap pada dasarnya.

Diantara kami bertiga, hanya Taufiq yang sempat mencari jalan keluar dari atas bukit semalam. Tapi, sejak dua jam lalu kami berpisah dengannya, kami semakin kesulitan menemukan arah. Dia hanya memberi tahu kami harus menuju utara.

Memang cukup sulit menembus hutan tanpa bantuannya. Tapi kita telah menyusun rencana. Dia menyerahkan diri sedangkan kami pergi untuk meminta bantuan.

"Rafi.. rafi...," panggil Nur membuat fokusku mencari arah  seketika.

"Hm." Aku hanya menanggapi sekilas panggilannya. Sudah cukup bosan dengan suasana hutan lebat ini.

"Itu jalur keretanya," ucapnya dengan tangan teracung mengarah ke jalur kereta yang panjang itu.

Aku bergegas berlari ke rel itu. Mengharap sebuah kereta datang dan membantu kami ke kota. Tapi, gerakku ditahan oleh genggaman Nur.

"Kau tidak merasa aneh? Bagaimana bisa sebuah rel bisa ada disini? Apa yang mereka angku? Jika benar itu rel pertambangan, dimana tambangnya? Kita sudah menelusuri hutan ini, bukan?" Ada betulnya juga perkataan Nur. Lalu apa langkah yang harus diambil?

"Gak. Kita tetap ikutin rel ini. Siapa tau rel ink tidak ada yang gunakan, sudah tidak pernah dilalui." Tidak ingin berandai andai dengan ancaman yang ada di depan sana. Aku memilih untuk memberanikan diri. Lelah bersembunyi sepanjang waktu.

"Taufiq sudah berkorban demi kita. Kau bisa menyianyiakan itu."

"Sudah tidak apa-apa. Ayo!" ucapku nekat, lebih ke bodoh. Tapi aku tidak peduli. Rel keretanya sudah karatan dan ditumbuhi banyak rerumputan. Pasti sudah jarang atau bahkan tidak pernah digunakan lagi.

Nur masih ragu saat kutarik tangannya dan mulai berlari menuju arah kota. Berharap seseorang akan menolong kami di sana.

Cukup panjang rel ini kami lalui hingga sampai di sebuah bangunan, mirip bilik kayu tempat kami dikurung kemarin. Aku dan Nur berhenti dan mencoba mengintip ada apa di dalam sana.

Kami mengintip dari sebalik belukar. Di sela-sela kayu lapuk dingding bilik itu, nampak ada seorang perempuan yang diikat di dalam sana.

Puluhan menit kami mengintip akhirnya dapat dipastikan bahwa tidak ada penjaga di dalam sana. Aman.

Nur mulai menyelinap ingin masuk menolong wanita itu. Aku menggeleng keras. Sangat tidak aman jika harus mendekat ke sana. Tapi bukan Nur namanya jika langsung mendengar ucapanku. Dia tetap bersikeras ingin masuk dan menolong wanita itu.

"Hey.. heyy tunggu!" Titahku saat melihat dia sudah masuk lewat pintu depan. Apa dia bodoh atau terlaku pemberani. Entahlah.

Saat dibuka penutup di kepalanya, ternyata wanita yang disekap itu adalah orang yang sama yang dirampok dan ditolong oleh Taufik. Kenapa dia bisa ada disini?

"Kau tidak apa apa?" tanya Nur melihat wajah wanita tadi ketakutan saat penutup di kepalanya dibuka. Kain hitam yang dibuat berbentuk karung itu membuat cahaya terhalang di mata wanita itu. Sehingga saat dibuka, retinanya kaget dengan cahaya menyilaukan.

"Kita harus segera pergi, preman-preman itu bisa menangkap kita lagi," paksaku yang sudah mulai panik.

"Preman apa?" Di sela kepanikanku, keningku berkerut dengan pertanyaan wanita itu. Dia diculik oleh preman itu tapi tidak tau bahwa ada preman?

"Yang menculikmu ke sini," jawabku singkat.

"Cih. Mereka bukan preman. Mereka tidak lebih dari seekor tikus got. Berkedok penambangan pasir, mereka sebenarnya menaman ganja di hutan ini. Memanfaatkan para sandra mereka yang ditangkap. Tidak ada satupun yang bisa lari. Semua laporan orang hilang tidak pernah ditanggapi oleh polisi. Percuma saja, hanya tinggal menunggu waktu. Kita akan menjadi bagian dari jaringan narkoba internasional ini."

Penyedap Rasa - (Slow Update)Where stories live. Discover now