Bagian 6

45 14 6
                                    

Ini kembali Nur

"Kak Nur ngompol lagi yah?" ucap Danil sinis. Tatapannya tajam menatapku jengah. Aku tercyduk, lagi.

"Ish apaan sih. Ini kakak tadi kesirem air tau," bohongku. Adikku yang lima tahun saja sudah tidak ngompol, kenapa aku yang sudah 18 tahun masih mengompol saja. Astaga astaga astagaaa!!! Sungguh memalukan.

"Kak Rafi di mana?" tanya Danil lagi. Sepertinya mereka berdua akan sangat sulit dipisahkan. Baru bangun saja sudah saling mencari, bagaimana kalau sudah siang yah? Gimana nanti sore?

"Di kamar kakak," jawabku enteng. Maklum, aku masih malu karena mengompol. Lagi.

"Matilah kak Rafii." Aku bingung loh dek kamu bicara apa? Kakakmu ini lagi panik mau diintrogasi ibu, jadi jangan bikin pusing.

"Pasti kak Rafi udah kehabisan napas gara gara bau pesing kasur kakak." Tiba tiba alarm nino nino mendengung di otakku. Status bahaya tingkat 5. Segera kosongkan orang dari lokasi kejadian.

****

Aku terlambat. Tak ada guna lagi. Pasti Rafii yang maha kepo itu sudah menyebarkan aibku ke seluruh dunia. Habislah nasib Nur yang baik hati.

Tiba-tiba kantong celanaku bergoyang. Eh maksudku ponselku bergetar di kantong celanaku.

"Nur. Gawat ini gawat. Bahkan lebih gawat dari ayam jantan yang bertelur bebek," pekik Rani. Dari intonasi bicaranya, dia sedang marah. Gak tau marahin apa? Yang jelas marah aja.

"Apa sih Ran? Salam juga gak. Lagian ini masih pagi. Its time for sleep again."

"Tidur palamu. Cek instagrammu gih. Ada berita viral," perintah sang mahaRani yang tak bisa kuelak. Mari kita lihat saja apa yang sebenarnya terjadi dan, "Aaaaaarrrggg!!"

*****

Hal yang kunanti akhirnya terjadi. Lihat saja jika kita bertemu. Akan ku habisi kau.

"Wah wah wah ... Rafi berani juga yah. Ngeposting aibmu." Zee yang memegang tongkat baseball berkacak pinggang. Angkuh.

"Minta dicekik tuh anak," Rani ikut mengompori. Kami bertiga dalam posisi siap perang.

Beberapa menit kemudian, yang ditunggu tunggu muncul dihadapan kami. Dia tak sadar bahwa bahaya ada di depan matanya. Melangkah dengan bangga.

"Hy guys," sapanya. Rafi si mata keranjang mengeluarkan senyumannya yang hmm ... kalian tau lah. Sugar free.

"Hy Nur, gimana suka gak?" tanyanya kemudian dilanjutkan dengan gelak tawa. Aku menatap sinis.

Pertama Rani yang bertindak. Kerah baju Rafi dicengkeram kemudian diseret ke belakang sekolah. Zee maju dengan langkah disentak kuat.

"Apaan nih!" Rafi memberontak. Tapi tak berdaya. Benar saja, dia sedang berhadapan dengan tiga perempuan sabuk hitam tingkat 2 karate. Melawan sedikit saja melayang nyawanya.

"Cepat jelasin!" Zee geram. Rani juga. Rafi? Gak usah ditanya, keningnya udah basah. Berkeringat dingin.

Tiba-tiba puluhan siswa kelas 12 berlarian keluar kelas menuju lapangan. Semuanya berteriak histeris. Apa jangan jangan ada gempa? Ah gak mungkin, masa aku gak ngerasain. Atau mungkin kebakaran? Hmm ... kayaknya gak deh, gak ada api juga. Terus apa dong?

"Hey kalian berempat! Kenapa masih di situ? Tidak ingin melihat pengumuman kelulusan?" seru pa Budi sambil menunjuk kami dengan penggaris kayu satu meternya.

Kami saling tatap. Pengumuman kelulusan?

"Aaaaa ...," teriakku dan Rani sambil berlari kelapangan. Zee juga ikut berlari. Kami lupakan masalah postingan Rafi. Pengumuman kelulusan jauh lebih penting.

Tiba di lapangan, semua murid sudah berbaris rapi. Acaranya sudah hampir dimulai. Pertama-tama, kepala sekolah memberi kalimat selamat tinggal sekaligus nasihat terakhirnya untuk angkatan kami.

Selanjutnya, pengumuman murid yang lulus langsung di tempel di mading sekolah. Barisan yang awalnya rapi ini seketika hancur saat semua murid bertanding ingin mencari namanya di mading itu.

****

"Woooyyy ... coret coret kita," seru murid murid memenuhi lapangan sekolah. Pihak sekolah sebelumnya sudah menyediakan sarana agar angkatan kami tidak komvoi di jalanan. Jadi, acaranya di ganti di lapangan sekolah. Kami bebas melakukan apapun, asalkan kami pulang semuanya harus bersih lagi.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Onde histórias criam vida. Descubra agora