Bagian 19

48 11 19
                                    

Nur pov

Setelah kekonyolan yang membuatku bahagia dari kedua rekan, teman sebaya, bahkan sahabat sejatiku, kami berakhir di rumah sakit. Dengan segala keterpaksaan, kami harus tertahan lebih lama di sini. Ibunya Rani adalah seorang dokter, dia meminta Rani untuk menunggunya di rumah sakit ini. Dia sedang melakukan pengobatan terhadap pasien penderita penyakit aneh yang dirawat di ruang UGD.

Sudah larut. Aku bahkan merasa seperti pengungsi yang diungsikan dari bencana. Hanya duduk terdiam di depan ruang UGD. Menunggu itu tidak enak ibu dokter. Harusnya dia tau itu.

"Kok lama yah?" protes Zee yang entah dia tujukan pada siapa. Kami juga merasa seperti itu. Tapi tetap saja. Menunggu, harus menunggu.

Akhirnya setelah lama menunggu. Pukul setengah dua dini hari, kami bisa pulang.

"Anak anak. Tunggu sebentar lagi yah. Saya mau ambil tas dulu di ruangan. Sebentar saja." Ibu dokter haruskah membuat kami menunggu selama ini?

Tiba-tiba ponsel ibunya Rani berdering. Suara telpon masuk, "Halo. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa? Baik saya segera ke sana."

Ibunya Rani meminta maaf. Ada pasien yang tiba tiba mengalami kejang kejang pasca diberi suntikan oleh perawat. Dia harus segera ditangani. Dan hanya tinggal ibunya Rani, dokter yang belum pulang.

"Aaaaaaa..." See berteriak kesal membuat suara gaduh menggemuruh di koridor depan ruang UGD. Meskipun kesal, Rani mengingatkan bahwa kita harus tetap menghormati orang tua. Jangan seperti itu.

****

Merasa sesak di dalam rumah sakit, Aku memutuskan untuk keluar setidaknya untuk melemaskan tubuh yang sejak menginjak daratan belum pernah istirahat.

Di ujung koridor, aku melihat sesuatu yang janggal. Eh apa itu? Salah, maksudku siapa dia?

"Ekhem...." Aku mencoba memberi kode pada orang itu. Seperti dugaan, dia tertangkap basah mengintip satpam. Tapi tujuannya untuk apa?

""Rafi ...," panggilan itu sangat khas di telingaku. "Sedang apa? Bukannya kau mau ke Cina?" tanyaku yang ia balas dengan melongok.

Karena merasa canggung, kami memutuskan untuk duduk santai di taman dekat rumah sakit ini.

"Jadi ceritain. Kenapa bisa kau disini." Aku sedikit menekan nekan agar dia bisa berkata jujur. Maklum, aku sudah hapal dengan sikapnya yang sudah memendam sesuatu sendirian.

"Huff.. percuma juga aku boong. kau juga akan sadar." Dia menarik napas dalam-dalam, "Jadi gini, setelah gagal ke Cina aku memutuskan masuk ke sekolah militer. Tanpa ku duga, ternyata pengaruh keluarganya Iman itu masih kuat di sana. Jadi aku tidak diterima," jelasnya cukup membuatku tercengang. Tak kusangka Iman bisa sejahat itu. Entah diberi makan apa dia oleh orang tuanya.

"Lalu, wajahmu lebam itu karena apa? Terus kau lagi apa di rumah sakit?" tak ku beri jeda untuk menginterogasinya. Dia tidak akan lolos dari rasa keingintahuanku.

"Ooooh, ini karena aku menjadi petarung jalanan, Nur. Demi mendapat uang. Tidak mungkin aku pulang dengan kondisi seperti ini. Aku tak mau mengecewakan om Haris," Dia menghentikan sejenak ucapannya, "Tadi siang ada orang pingsan dan aku mengantarnya kesini. Dia sakit parah."

Terdengar lirih bibirnya mengatakan itu. Meskipun bukan ahli psikologi, aku tau ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aku tau itu.

"Kalau begitu, kau bawa aku ke tempat itu. Aku ingin melihatnya," perintahku dengan sigap. Sebelumnya aku mengirim pesan untuk Rani dan Zee. Sekedar mengabari saja.

Aku sangat yakin lebam itu bukan karena bertarung. Dia pasti dicurangi, atau bahkan digebuki oleh lawannya. Aku harus membantunya.

"Jangan. Kau mau apa disana? Tidak ada tempat untukmu disana. Lagi pula ini sudah larut," ali bunga yang pelik. Memangnya aku mau apa disana sampai membutuhkan tempat.

"Kau tidak lupakan aku sudah sabuk apa?" terdengar sedikit sombong, tapi tak apa. Agar dia bisa menyerah dan mengantarku ke tempat itu. Aku sungguh ingin melihatnya.

****

Puas berdebat di taman, akhirnya dia setuju untuk membawaku ke tempat pertandingannya. Ada kesan menyesal dari maniknya, tapi aku tau dia tak akan bisa menolakku.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Where stories live. Discover now