Bagian 5

47 16 3
                                    

Ini Rafi

"Ngapain kau di kamarku?" Teriaknya histeris. Aku? Hanya melongo tidak mengerti.

"Kau tuh. Ngapain tidur di sini juga. Ini kamar tamu." Protesku, dasar. Sudah meraba raba tubuhku, mengagetkanku, mengataiku kolor ijo, dan sekarang dia membentakku. Memangnya untuk apa dia tidur di kamar tamu? Diakan punya kamar sendiri.

****

"Jelaskan kenapa kalian bisa satu kamar! Di kamar Nur," ucap ibunya Nur dengan mata melotot padaku. Tatapannya tajam dan menakutkan.

Aku diseret paksa keluar kamar dengan keadaan telanjang dada.

Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari batangnya. Begitu pula dengan keluarga ini. Anak dan ibu sama saja. Tukang marah dan tukang paksa. Aku diintrogasi tanpa belas kasih.

Aku takut menjawab, hanya bisa melirik Nur sambil memberi kode. Seandainya aku punya kesempatan, pasti sudah kupukul kepala anak itu. Lihat saja tatapannya yang tidak mengerti saat kuberi kode. Dasar oon.

"Kenapa malah diam!! Nur, jelaskan!!" ucapnya tambah marah. Kini aku sadar, apa arti kata "ibu-ibu raja jalanan". Mereka akan menerkammu bagai singa saat kau tak siaga.

Tapi untung saja sang malaikat pelindungku bertindak. "Ibuu ..." Suara Danil memanggil ibunya. Dia terbangun karena keributan ini. Aku menarik napas lega. Selamat.

Aku melangkah bebas kembali ke kamar tadi. Tapi langkahku dihentikan sang pemilik kamar, "Mau apa lagi?"

"Bajuku ada di dalam," ucapku yang membuat manik matanya membulat. Dia bergeming kemudian melirik tubuhku.

Sontak aku menutupi tubuhku dengan tangan. Terutama bagian "itu". Aku menyuruhnya menyingkir dari pintu. Tapi dia tetap melawan.

"Apa lagi?" tanyaku pasrah.

"Se-semalam ... kau gak macam macam kan?" tanyanya was was. Seakan aku adalah pria hidung belang yang mengincarnya bertahun-tahun.

"Apa perlu kau bertanya seperti itu? Lalu untuk apa aku terkejut tadi jika sudah tau kamu di situ." Aku membentak.

"Aku tidak percaya, kaukan mesum." Sepertinya dia tak mau mengalah. Enak saja dia mengataiku mesum.

"Enak saja. Justru kau yang memengang-mengang tubuhku," jawabku yang telak mengenainya. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

"Jangan bicara sembarangan. Mana mungkin aku memegang megangmu," bantahnya sekali lagi. Sudah kuberitahukan, dia itu tidak mau kalah. Meski sudah terbukti, tetap saja pada pendiriannya.

"Lalu yang tadi itu apa?" Dia sepertinya mengingat ingat saat pertama dia bangun dan menyentuh nyentuhku.

Wajahnya semakin merah. Dia sontak mendorong tubuhku dan berlari pergi. Dia pasti malu. Aku tau itu.

****

"Bajuku mana?" Meskipun sudah kucari berkali kali, tetap saja tidak kutemukan baju itu.

"Bagaimana ini?" Aku semakin frustasi. Bagaimana aku keluar kamar kalau masih telanjang dada begini.

Kucari baju itu ke seluruh kamar. Tetap saja tidak kelihatan. Jika diingat ingat, semalam aku langsung merebah di kasur. Pasti bajunya ada di kasur.

Tanpa pikir panjang, langsung ku singkap selimut besar di ranjang itu untuk mencari bajuku.

"Wah wah wah... ini akan menjadi berita besar nantinya. Aku harus memotretnya." Aku bergerak cepat mengambil ponsel dari saku celanaku. Kalian tidak akan menebak apa yang kutemukan di ranjang itu selain bajuku.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora