Bagian 26

18 6 0
                                    

Gelegak tawa terdengar keras. Ternyata itu Taufiq yang mengerjai kami. Ah, menyebalkan. Dua kali aku dibuat terkejut oleh mereka.

"Riani, Rafi, sedang apa?" Panggilannya membuatku tersadar, siapa jati diriku yang ia tau. Mencegah Rafi membeberkan semuanya, aku langsung menanyai Taufiq tentang cahaya itu. Matanya tiba-tiba membulat saat melihatnya. Apa mungkin itu berarti sesuatu yang buruk? Atau apa?

"Kita tinggalkan tempat ini. Disini tidak aman," ketusnya singkat kemudian bergegas menghapus jejak kami di puncak bukit ini.

Kami berlarian tidak tau arah menuruni bebatuan terjal yang basah karena embun. Bergegas meninggalkan bukit. Sebenarnya itu apa? Kakiku tergores sesuatu. Luka sobek terpampang di sekitar tulang keringku. Cukup dengan tusukan belati saat sarapan tadi. Sekarang ditambah dengan goresan ini.

"Sebaiknya cepat sebelum kita ditangkap!" mendengar teguran Taufiq itu membuatku bingung. Sebetulnya ada apa?

"Kita sudah cukup jauh. Berhenti sejenak untuk menghindari apa yang tidak mengejar kita kurasa tidak masalah," Rafi mulai membuka suara. Kami terengah-engah. Apalagi sejak kemarin pagi tidak ada asupan yang masuk ke dalam perutku. Setelah "katak" itu.

"Kita harus tetap berjalan. Setelah mereka melihat bekas kayu bakar di puncak bukit, mereka akan beroencar mencari kita," ketus Taufiq yang semakin memburu. Ada betulnya juga sih. Tapi aku sudah tidak sanggup.

Melihat kondisiku yang tidak memungkinkan, Rafi menawarkan diri untuk menggendongku. Lantas aku langsung menolak mentah-mentah. Meskipun sudah diujung batas, aku akan tetap berusaha.

****

Sampai titik ini, aku belum bisa menemukan penyedap rasa agar sakitku bisa menakjubkan. Yang jelas, itu bukan teori dari si calon dokter atau aksi dari si 4P. Sejauh inj sakit itu masih sama. Sama seperti awal. Sama seperti yang dulu.

****

Semenjak terjebak dalam kabut ini, kami bisa sedikit lega agaknya jejak kami akan terselubung oleh kabut yang tebal. Dia sebuah batu besar, aku terduduk letih setelah berkejaran dengan rasa takut.

"Arrggg...," geram seseorang meninju sembarang pada kabut. Sama sepertiku, dia mulai kehilangan asa. Lelah dengan ini.

Taufiq tadi sudah menceritakan bahwa cahaya cahaya tadi itu adalah obor yang dinyalakan seseorang. Mereka bergerak menuju bukit. Kemungkinan besar itu adalah para preman yang menyisir pedalaman untuk mencari kami.

Sebenarnya kami bukan penjahat kelas kakap ataupun anggota gengster yang menjadi musuh mereka. Lantas apa motif dibalik penculikan ini? Aku dan Rafi juga bukan sasaran yang bagus untuk dimintai sandra. Kami bukan anak orang kaya.

Aku terpikirkan sesuatu. Diantara kami bertiga, hanya Taufiq saja yang tidak kuketahui latar bekakangnya. Apa mungkin dia.... ah tidak tidak. Aku tidak ingin berpikiran buruk. Mungkin preman itu orang yang dilawan Rafi saat bertanding itu. Yang untuk mencari uang sampai wajahnya bonyok. Aku lupa nama pertandingannya.

Melihat matahari yang semakin menyongsong naik. Kabut pun mulai menipis. Kami harus bergegas jika tak ingin tertangkap. Lagi pula sakit di kakiku juga sudah mendingan. Aku bisa berlari lagi.

Saat aku berbalik badan, ternyata kedua laki laki itu masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Rafi nampaknya masih belum bisa melupakan dua preman yang tewas di tangannya. Meskipun jujur dia yang paling payah diantara kami, tapi ternyata dia yang paling banyak membunuh.

Sedangkan Taufiq, dengan tatapan kosong memandang pepohonan rindang dengan batang batang besar yang ditumbuhi lumut. Tampak sendu. Matanya berkaca-kaca dalam diam.

Tak tega rasanya mengganggu dua pria yang sedang gundah itu. Tapi aku takut akan terkejar karena dari atas bukit, jika kabut hilang posisi kami akan sangat mudah diketaui.

"Rafii, Taufiq!! Kita harus pergi. Ayo bergegas," titahku membuyarkan lamunan mereka. Rafi kemudian berdiri dan membersihkan celananya untuk selanjutnya melanjutkan pelarian ini. Tapi, Taufiq masih nampak lesu.

"Aku yang menyeret kalian dalam masalah ini. Kalian tidak seharusnya berada di tempat ini. Kalian ikuti jalur di lereng itu, terus kearah utara sampai menemukan rel kereta penambang. Masih jauh dari sini. Sekitar 10 km lagi. Di sana kalian bisa pulang. Aku akan memberikan diri kepada preman itu supaya kalian dibebaskan."

Aku tidak salah dengarkan? Kenapa tiba-tiba dia menyerah secepat ini?

"Aku yang dari awal mereka cari. Aku tau apa yang mereka sembunyikan di hutan ini. Kalian pergilah."

Penyedap Rasa - (Slow Update)Where stories live. Discover now