Bagian 8

39 13 0
                                    

Rafi's pov

"Hey kalian berempat! Kenapa masih di situ? Tidak ingin melihat pengumuman kelulusan?" seru pa Budi sambil menunjuk kami dengan penggaris kayu satu meternya. Pengumuman kelulusan? Yes. Jika ada tingkat kegembiraan seseorang, pasti aku ada di tingkat teratas. Bagaimana tidak, tiga preman yang ingin memukuliku berlarian ke lapangan untuk penentuan kelulusan. Aku selamat.

Saat aku berdiri ingin menuju lapangan juga, ponselku bergetar. Seseorang melakukan panggilan. "Halo, Assalamualaikum," titahku membuka pembicaraan.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab orang di seberang sana. Suara serak paraunya sangat kukenali.

"Iya om, ada apa?" tanyaku pada om Haris.

"Bagaimana sekolahmu nak? Kamu peringkat berapa?" tanyanya balik. Suaranya lembut sekali.

"Belum tau om. Ini baru mau pengumuman."

"Ya sudah. Setelah pengumuman kamu langsung ke sini yah. Kita ke kantor dinas perhubungan untuk mengurus paspormu," jelas om Haris kemudian mematikan sambungan telponnya.

****

Namaku berada di tingkat 2 dari semua siswa angkatan tahun ini. Kegembiraanku bertambah. Ini adalah hal yang harus aku pamerkan pada Nur.

Eh, tapi aku harus ke rumah om Haris. Nanti saja deh. Pas ada kesempatan lain aja. Pokoknya dia harus tau.

****

Pukul 06:00 tapi urusan di sini belum selesai. Aku semakin frustasi mengingat aku sudah membuat surat dan mengajak Nur ke prom night bersama.

Jika terlambat bisa-bisa si tukang protes itu mengamuk.

"Om, masih lama yah?" tanyaku gelisah. Beginilah aku, jika sudah berjanji akan gelisah jika tidak menepatinya.

"Sebentar lagi. Tinggal tunggu paspornya jadi," jawab om Haris menenangkan. Nada bicaranya yang lembut membuatku sedikit tenang. Hanya sedikit. Tak cukup untuk membuatku lupa akan tugasku menjemput Nur.

Sepuluh menit berlalu tapi belum jadi juga paspornya. Aku semakin cemas. Sekali lagi aku bertanya untuk memastikan, tapi jawabannya tetap sama.

Jam yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan dua jarum yang saling sejajar. Tempat jarum pendeknya persis sama dengan tempat tempat jarum panjangnya. Sekarang sudah beberapa menit lewat setengah tujuh.

Kulihat om Haris melangkah keluar dari ruangan itu. Lama betul menunggunya.

"Ayo pulang. Sudah selesai." Mendengar perkataan om Haris, aku langsung bergerak menuju parkiran. Akhirnya aku bisa menjemput Nur. Semoga tidak terlambat.

Langkah om Haris terhenti, "Nak, kamu lihat kunci mobilnya?" astagaa ...  dalam situasi seperti ini masih sempat saja om Haris kehilangan kunci mobil.

"Coba cek di dalam. Mungkin ketinggalan." Aku berlari masuk. Secepat mungkin aku mencari kunci mobil itu. Kucari di kursi yang kududuki tadi dengan om Haris, tapi tak ketemu.

Aarrrhggg ... kepalaku memanas. Tiba-tiba om Haris meneriakiku dari arah parkiran. Aku berlari keluar.

"Kuncinya ternyata lupa om ambil. Itu ada di dalam mobil," ucap om Haris. Aku tak tahu lagi. Jika dia bukan pamanku, mungkin aku sudah mengtakan sesuatu yang buruk. Aku terlalu emosi.

****

Karena sudah mengira akan seperti ini. Baju yang akan kukenakan ke prom night sudah kusiapkan di dalam mobil. Jadi, sambil om Harus mengemudi aku berganti baju saat itu juga.

Lima belas menit sebelum jam tujuh. Aku tambah panik. Bagaimana jika Nur sudah pergi. Ah rasanya tidak mungkin, dia pasti sudah membaca suratku.

"Om, sebaiknya om pulang saja. Rafi bisa naik taxi ke prom night kok," ucapku pada om Haris. Sebenarnya aku hanya tak tahan dengan cara mengemudi om haris yang sangat pelan.

Setelah menemukan taxi, aku melesat menuju rumah Nur. Pukul 06:49 aku tiba. Menurut Danil, kakaknya sudah pergi beberapa menit yang lalu bersama seorang pria.

Aku terhenyuk mendengar ucapan anak lima tahun itu. Aku sudah berjuang untuk tidak terlambat menjemputnya, tapi dia malah pergi dengan pria lain? Entahlah, apa ini kecewa atau menyesal. Aku tak bisa membedakannya.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Where stories live. Discover now