Bagian 16

34 11 0
                                    

Tebak ini siapa?

"Kau yakin nak? Menjadi prajurit tidak semudah yang kita lihat. Kau bahkan harus meninggalkan keluargamu dan semua yang kau miliki di sini. Terlebih lagi resiko yang dihadapi tidak kecil, Nak. Kau bisa saja mati." Ucap om Haris menekan pada bagian akhir kalimatnya. Terdengar jelas bahwa dia tak rela jika aku menjadi tentara.

"Lantas apa kau sudah siap untuk semua itu?" Sejujurnya aku tak yakin bisa melakukan ini, tapi tekadku sudah mantap. Aku harus bisa.

Aku mengangguk mantap seraya memberi jawaban dari pertanyaan om Haris padaku. Apapun resikonya akan kujalani. Ini hidupku, dan aku harus memilih.

****

Pendaftaran calon tentara di mulai hari ini. Om Haris mengantarku hingga gerbang masuk. Di sini, di tempat ini aku akan berjuang untuk menjadi prajurit sejati. Ibu, tunggu aku di sana.

Kupejamkan mataku kemudian menarik kuat napas terdalamku. Dengan sekali hembusan, aku melangkah maju dengan asa dan harapan agar apa yang pinta bisa tercapai.

Ratusan calon pendaftar berbaris tertib di depan loket formulir. Semua terlihat bersemangat untuk ini. Tak terkecuali aku.

"Hey, nama li ngana sapa gitu ?" seorang menepuk pundakku dari belakang. Dengan sappan khas warga gorontalonya.

Aku berbalik tersenyum. Nampaknya dia orang yang ramah, "Panggil saja saya Rafi," jawabku sembari menjabat tangannya.

"Ooo .. Rafi. Perkenalkan. Saya Marinus. Orang-orang biasa panggil saya Dan-ce."

Perkenalan singkatku dengan orang yang mungkin akan menjadi sahabatku di sekolah militer ini. Orangnya ramah. Dan lagi, dia kelihatan bersahaja.

****
Matahari sudah naik di puncak kepala. Panasnya menyengat hingga meresap di ubun-ubun. Pakaian yang kupakai sudah basah akibat keringat.

Sudah empat jam aku berdiri di lapangan seluas 5 hektar ini. Barisan di depan sana seperti tak mau bergerak, sehingga kami yang berdiri di belakang harus menunggu lebih lama lagi.

Berselang waktu satu jam. Akhirnya giliranku untuk maju ke loket dan mengambil formulir.

Apakah ini kebetulan atau memang di sengaja. Si brengsek itu ada di sana. Sedang duduk menunggu di dalam ruang ber-ac di kantor utama sekolah militer ini.

Terlihat dia sedang berbincang dengan seorang tentara berpangkat jendral--terlihat dari pangkat yang menempel di seragamnya--yang bertubuh kekar.

Mimik wajahnya berubah saat tatapannya menemukanku yang sedang mengisi formulir di bangku yang disediakan. Sempat aku melirik kearahnya, dia sedang membisikkan sesuatu pada jendral tentara itu. Entah apa yang ia bisikkan.

Beberapa saat kemudian, jendral besar itu berjalan dengan wibawanya kearah loket pendaftaran. Ia menuju seorang bawahannya kemudian memberitahukan sesuatu.

Setelah itu, dia berjalan kearah kami--calon tentara yang mengisi formulir-- kemudian menunjuk kearahku.

"Kursi ketiga, pakaian merah hitam. Ikut saya," ucapnya dengan lantang dan mengintimidasi. Dengan segenap nyali, aku beranikan diri berdiri dan mengikutinya.

Kami berdua melewati koridor dengan pencahayaan temaram. Menuju bagian belakang gedung sekolah militer ini, jika aku tidak salah kira.

Lidahku ingin sekali bertanya, "Kemana kita akan pergi?" namun sayang, nyaliku tak sebesar itu untuk mengatakannya.

Tak tunggu waktu lama, kita sampai di tempat yang ia maksud untuk aku mengikutinya. Halaman belakang dengan toilet kotor dan bau pesing yang sangat menyengat. Rasanya ingin kumuntahkan saja sarapanku tadi pagi.

Jendral itu berbalik menatapku dengan tatapan membunuh. Aku manjadi panik seketika. Dari balik tembok koridor muncul seorang yang sangat kukenali. Si brengsek itu.

"Dia yang telah memukuliku waktu itu, Kak," ucap Iman dengan nada menekan emosi saat berdiri tegak di samping sang jendral.

Tak kusangka bahwa pengaruh keluar Wahida akan sampai ke tempat ini. Bahkan anaknya adalah jendral besar di sekolah ini.

Tiba-tiba kakak dari Iman, si brengsek itu membuka uniform tentaranya. Memperlihatkan otot lengannya yang besar dan perut sixpacknya.

Tanpa menunggu lama, Iman berjalan kebelakangku. Sekarang aku dalam posisi terkepung.

Dengan lincah, Iman melompat dan mengunci kedua lenganku. Aku memberontak tak terima. Tapi, tubuhku malah terpelanting ke belakang karena terkena tinjuan dari lengan kekar Jendral besar itu.

Tak berhenti di situ. Mereka menghujaniku dengan pukulan bertubi-tubi tanpa peduli keadaanku yang sudah lusuh.

Aku ingin melawan. Tapi tak kuasa harus melawan seorang jendral tentara dengan adiknya yang beringis.

Cukup puas telah menghabisiku hingga aku terbaring lemah di tanah dengan aroma pesing yang menyengat penciuman, Iman melangkah mengindak pipi kiriku hingga kepalaku tertanggal di tanah.

"Sekali lagi, gue ingetin sama lo. Jangan macam-macam sama gue. Atau lo berakhir seperti ini. Lagi." Ucapnya kemudian pergi meninggalkanku. Berlalu dengan pundak yang menghilang seiring mereka berjalan di koridor temaram.

Pengelihatanku mengabur karena air mata yang tak kutepis lagi keberadaannya. Terasa perih di ujung pelupuk mataku saat cairan bening itu keluar berbaur dengan merahnya darah. Bau pesing sedari tadi terasa ingin menambah sakitku.

Aku berusaha bangkit, tapi sayang aku tak bisa. Kakiku keluh, kaku bagai beku. Luka terkoyak tergambar pedih di sekitar tulang keringku.

Aku harus pergi. Aku harus meninggalkan tempat ini. Segera.

Dengan segenap kekuatanku, aku melangkah meninggalkan sekolah militer itu. Berjalan dengan kaki kiri terseret karena tak mampu lagi berjalan normal.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang