Bagian 21

32 12 1
                                    

Sialan. Aku tertangkap sasaat setelah menyadari tipuan mereka. Aku pikir mereka sudah pergi menghindari "polisi". Ternyata mereka cerdik.

Alhasil aku yang tak bisa bela diri ini dengan sekali pukulan ambruk bersama kedua orang yang sudah lebih dulu berbaring lemah di tanah. Tak kusangka, para preman itu tak mudah di perdaya.

----------------------

"Heh bocah. Lo itu masih kecil. Masih ingusan. Gak usah sok jagoan mau nipu kita kita. Asal lo tau aja yah. Gak ada polisi yabg berani masuk ke sini," geram pemimpin preman itu. Bekas darah masih terlihat di punggung bajunya. Pukulan Nur tadi berhasil melukainya. Walau hanya sedikit.

Nur memberontak menendang kesana sini membuat preman preman itu geram, "Woy. Bisa diem gak lo anjing. Lo mau ngapain juga gak ada orang yang bakalan nolongin elo. Palingan beberapa hari lagi, lo juga udah membusuk disitu."

Kami bertiga terikat di pojok ruangan yang berbau tak sedap ini. Sebuah bangunan atau lebih tepatnya bilik kayu yang dibangun diatas danau seluas 2 km. Seluruh dinding bangunan ini sudah lapuk dan ditumbuhi lumut. Bau anyir ini berasal dari darah yang ada di hampir seluruh dinding bangunan. Sepertinya mereka membawa sandra mereka kesini dan membunuhnya.

Aku mengangkat kepala, mengamati seluk beluk bilik kayu ini. Jika diamati, sepertinya mereka membawa kami ke tengah hutan. Tak terdengar apapun selain kicau burung dan suara air. Begitu sunyi.

Sang penolong tersadar. Matanya mengerjap-erjap sampai akhirnya menemukanku di sampingnya, "Rafii...," panggilnya yang pasti kaget saat melihatku ikut terikat di sampingnya. Semalam dia pingsan dan baru sadar pagi ini.

"Sudah siuman?"

"Kau juga? Akh... harusnya aku lari lebih cepat semalam," keluhnya dengan nada menyesal. Lagi pula, bukan salahnya sampai aku bisa ditangkap di sini.

Tiba-tiba dari arah luar, terdengar suara puluhan katak yang berkerumun. Suara katak itu mendekat, semakin dekat, sangat dekat hingga kami terkejut dengan seseorang yang membuka pintu.

Tawa licik menjelma di bibir orang itu. Tato kupu-kupu berwarna biru menghiasi lengannya yang kekar.

"Sudah cukup istirahatnya putri tidur. Saat bangun dan sarapan," preman itu menepuk nepuk pipi Nur. Membuatnya terjaga dari tidurnya. Terimanya kesulitan melebar karena kondisi cahaya yang sangat terang. Nur mengerjapkan mata.

Seketika ia langsung meronta keras. Berteriak agar dia dilepaskan. Giginya saling menumbuk, rahangnya mengeras merasakan sakit pada pergelangannya yang terikat kencang.

"Saatnya sarapan tuan putri," ucap preman itu dengan lembut menggapai dagu Nur dan mencengkeramnya kuat hingga mulut Nur terbuka.

Tanpa bekas kasih, ia merogoh kantong yang ia bawa dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Seekor katak dengan lendir basah dan lumpur di badannya disodorkan masuk ke dalam mulut Nur.

Nur lantas menggeleng keras. Menolak "sarapan" yang disuguhkan. Tapi preman itu tak berhenti di situ. Ia mengambil belati yang terselip di celananya. Menusuk betis Nur hingga gadis itu mengerang kesakitan.

Dengan sigap, preman itu memasukkan katak ke mulut Nur saat Nur berteriak perih.

"Nikmati sarapanmu tuan putri," seringainya memberi tatapan membunuh untuk korban selanjutnya.

Sontak aku merinding. Aku selanjutnya. Jika Nur saja tidak bisa menghindarinya apa lagi aku.

Preman itu melangkah mendekatiku. Bulu kudukku berdiri membayangkan rasa dari katak berlumpur itu. Membayangkannya saja membuatku ingin muntah.

Keajaiban terjadi. Nur berdiri merebut belati tadi dan menancapkannya pada dada sebelah kiri preman tadi. Sontak ia kehilangan kesadaran dan terjatuh.

Kami terlepas.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Where stories live. Discover now