FIFTY FIVE - Keterpurukan.

102K 7.2K 668
                                    

Jangan bilang orang itu lemah ketika sedang dalam masa sulit. Kamu tidak tahu apa yang ia rasakan, mungkin yang menurut kamu adalah biasa saja tapi untuk dia itu sangat menyakitkan.
Kita hidup dengan porsinya masing-masing, dimana rasa sakitmu tidak akan pernah bisa di samakan dengan rasa sakitnya.
Mengertilah.

***

BELVA menatap guru yang menjelaskan di depan dengan tatapan bosan. Badannya seakan tidak berkompromi dengannya untuk melakukan hal pembelajaran ini. Sedangkan Lina, ia malah sibuk membaca novel-novel fiksi remaha kesukaannya.

Suara ponsel membuat dirinya otomatis terkejut, tapi enggan untuk mengeceknya dan memaksa diri agar tetap memperhatikan.

Bunyi getar yang kedua banyak sekali. Belva menaikkan alisnya, merasa penasaran. Ia melayangkan tatapan ke Bu Dina, memastikan bahwa guru itu benar benar tidak akan memperhatikannya ketika ia membuka ponsel.

Layar beranda terbuka, menampilkan deretan pesan dari kontak yang bernamakan "Nathan Ngangenin". Belva masih menyimpan nomernya, dan tidak mengganti namanya juga. Lebih tepatnya tidak sempat.

Cewek itu menekan kontaknya, melihat banyak pesan yang cowok itu kirimkan setelah sekian lama tidak mengirim pesan. Nama Nathan pun jadi bagian paling atas dari kontak pesan yang ada di WhatsApp Belva.

Nathan Ngangenin.
Masih nyimpen nomer gue, ya?
Nggak papa, nggak usah di apus.
Eh.
Main yuk?
Oh iya lupa, kan udah mantan.
Tapi gue nggak lupa kok kalau lo pernah jadi orang spesial.

Belva menautkan alisnya, membaca pesan yang menurutnya 'garing' tapi mampu membuat jantungnya berdetak kencang. Untuk apa Nathan mengirimkan pesan seperti ini?

Belva mengerutkan dahi, melihat pesan yang lagi lagi terkirim kepadanya.

Nathan Ngangenin.
Kok di read doang?
Bales, dong, nanti gue kasih coklat.

Belva melayangkan jarinya di keyboard dengan gemetar. Ia menuliskan beberapa kata namun kembali di hapus, begitu terus hingga beberapa menit.

Belva
Jangan ganggu.

Nathan Ngangenin.
Tapi pengen, gimana, dong?

"Cie, Kak Nathan, ya?" Belva dengan cepat menutup ponselnya, lalu menggeleng.

"Bukan." Balas Belva cepat lalu kembali memegang pulpen, menuliskan beberapa penjelasan guru yang tergores di papan tulis dengan spidol hitam.

***

Belva belakangan ini memutar balik kebiasaannya. Dia yang biasanya anti dengan perpustakaan, kini lebih baik mendekam disana. Bukan membaca buku, hanya untuk tidur. Kemarin ia makan di kantin karena paksaan Lina.

Belakangan ini, ia sering sendiri. Mendekam dimanapun yang penting sendiri dan sepi, tidak banyak orang yang berbicara, atau akan memandangnya aneh. Dia juga bukan lagi di kenal dengan Belva yang ceria, tapi Belva yang tertutup.

Sedangkan Nathan, ia masih sama. Masih dingin. Menganggap orang di sekitarnya adalah angin lalu. Tapi entah mengapa kelakuan dinginnya tidak berlaku pada Belva, cowok itu malah berubah 180 derajat ketika dirinya berada di dekat Belva.

Belva merasakan pusing yang sangat kuat di kepalanya, bukan pertama kali namun sering. Di keluarkannya sebuah tabung berisikan pil, segera di telannya pil itu bersama air putih. Dengan perlahan, rasa sakit di kepalanya berkurang.

My Cold Boyfriend (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now