FOURTY NINE - Kapan Berakhir?

104K 7K 466
                                    

Jika saat kamu menggenggam dia lebih terasa sakitnya, maka lepaskan. Tapi jika bahagiamu ada padanya, maka bertahanlah.
•••

BELVA menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Beberapa kali pesan dari Renata masuk kedalam ponselnya. Ia tahu, bahwa Renata sangat membutuhkan dirinya untuk menemani Nathan di rumah sakit.

Renata meremas bantal, ingin sekali pergi untuk melihat Nathan di rumah sakit. Tapi ia tahu ini tidak akan baik jika ia pergi kesana. Tapi bagaimanpun, Nathan seperti ini karenanya.

Belva bangkit dari kasur lalu mengambil jaket merah marun yang tergantung di belakang pintu. Langkahnya dengan cepat keluar rumah tanpa izin terlebih dahulu kepada ibunya.

Dengan menaiki taksi, waktu dua puluh menit ia habiskan untuk mencapai rumah sakit. Kakinya melangkah menaiki tangga ke arah ruangan yang sudah di beritahu oleh Renata lewat pesan.

Tentu ia kesini secara diam diam, ia tak mau jika Renata tahu apalagi Fara. Kakinya berhenti di depan sebuah ruangan yang di tuju. Keadaan sepi, hanya ada suster yang berlalu lalang.

Matanya berair melihat seseorang yang terkapar di atas brankar. Lewat kaca penghalang itu, ia pun rasanya ingin menangis, apalagi jika ia harus kedalam dan memegang tubuh cowok itu.

Banyak alat yang menempel pada tubuh cowok itu, kepalanya juga banyak perban. Melihat itu hatinya bagaikan ikut merasakan sakit yang dirasakan.

Sebenarnya mahkluk macam apa dirinya? Secara tak sengaja ia terus menyertakan Nathan pada penderitaannya. Niatnya ia menjauh untuk menghentikan rasa saling menyakiti, tapi apa? Nathan malah makin terjerat pada rasa sakit. Lalu ia harus bagaimana lagi?

"Belva?" Cewek yang tengah melamun itu terkejut lalu menatap kesamping, dimana seorang perempuan berdiri disana.

"Emm.. Fa-Fara?"

"Lo ngapain disini?" Ia menautkan alisnya menatap Belva yang tiba-tiba berani menginjakkan kakinya disini.

"Gu-gue.. gue mau nengok temen." Belva mengusap tengkuknya, salah tingkah.

"Nathan maksudnya?"

"Bu-bukan, temen sekelas. Dia sakit juga."

Fara menggelengkan kepalanya pelan. "Lo nggak bisa bohong, disini jelas jelas ruang Nathan. Dan lo berdiri disini."

"Jangan salah paham dulu, gue juga sekalian lewat. Gue pergi dulu." Belva memasukkan tangannya kedalam saku jaket lalu melangkahkan mendahului Fara.

"Kenapa sih selalu lo?" Langkah Belva melambat, lalu membalikkan kembali badannya untuk menatap Fara yang juga menatapnya.

"Semua selalu tentang lo. Nathan, dia selalu inget lo. Setelah dia sadar, dia juga selalu nyebut nama lo. Dia selalu minta lo dateng, sampai Tante Renata bela-belain terus bujuk lo."

Belva hanya diam, tak bisa berkata apapun. Ia juga tak tahu mengapa Nathan terus bertahan padanya, padahal segala cara untuk membuat cowok itu benci sudah ia lakukan.

"Padahal gue ada disini, selalu disini. Tapi dia sama sekali nggak nganggep gue. Gue nggak bisa menyalahkan lo sepenuhnya. Tapi bagaimanapun kalau lo masih ada, dia nggak bakal bisa lepas dari lo, juga dari luka yang lo kasih."

Belva menatap wajah lesu yang di keluarkan oleh Fara. Mungkin saja Fara memang merasakan sakit lebih daripada dirinya.

Belva menarik napasnya perlahan. "Gue udah lakuin semua."

"Belum. Dia bisa lepas dari lo, kalau lo pergi jauh sejauh jauhnya atau.."

"Mati." lanjutnya membuat Belva sukses melebarkan mata tak percaya.

My Cold Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang