BAB XXV

1.1K 10 0
                                    

Namanya Randi, 25 tahun usianya dia satu kerjaan denganku. Satu divisi juga sebagai check-in agent. Aku kenal akrab dengannya, dan kabar gembira baru saja dia layangkan padaku. Dia ulurkan sepucuk surat undangan pernikahan.

"Mohon doanya Kinanth, semoga dilancarkan sampai hari-H amin".
"Pastinya Ran, semoga dilancarkan dan semoga diberikan kemudahan disetiap prosesnya dan harapannya nanti menjadi sakinah mawadah warahmah, amin".
"Terima kasih banyak Kinanth, dalam satu minggu kedepan akupun sudah mengambil cuti".
"Hati-hati dijalan, salam untuk calon istrimu".

Ada satu lagi temanku yang lainnya, usianya tak jauh berbeda denganku juga. Dia sekarang 26 tahun. Reno namanya, dan diapun mengabarkan berita bahagia juga padaku, bahwa seminggu setelah Rendi resmi menikah dialah yang segera akan menyusul. Tentu aku sebagai seorang temab sekantor merasa ikut berbahagia dengan kabar gembira ini. Dia menikahi teman satu PT namun berbeda airlines yang dikerjakan dan mereka masih seusia juga. Akupun memberikan ucapan selamat padanya. Dan diapun berterima kasih untuk itu. Doa-doapun kupanjatkan semoga semua acara berlangsung lancar dan harapannya menjadi keluarga sakinah mawadah dan warahmah.

Dan hari berlalu mereka berduapun masing-masing sukses melangsungkan pernikahan. Kini mereka sudah menyandang status berkeluarga.

Pasca cuti menikah mereka kembali menjalani aktifitas sebagai pekerja di Bandar Udara. Berbagai ucapan selamat berseliweran silih berganti datang kepada mereka. Dan jabat erat serta peluk hangat sebagai tanda keakraban dari para pemberi selamat. Tak terkecuali dengan sarah diapun memberikan ucapan selamat kepada Randi dan Reno.
"Selamat ya Ran, Ren, semoga langgeng, semoga samawa."
"Ia mba, makasih banyak" kata Randi.
"Istri lo di mana sekarang Ran? Oya usia berapa si??" Sarah lanjut bertanya.
"Oh istri saya masih di Medan, belum saya bawa ke sini mba. Istri masih 22 tahun mba"
"Ohh bagus lah Ran, nikah muda, nanti kan kalo anak lo sudah gede lo nya masih muda ya kan??"
"Ia mba,"

Aku tahu di luar matahari sedang bercokol di singgahsananya. Tapi justru petir menyentak hati ini. Langsung ingatanku mundur beberapa bulan ke belakang. Ketika aku menjenguk temanku yang baru saja lahiran. Masih jelas mendenging ditelingaku Sarah menyalahkanku karena aku menikah diusia yang terlalu muda dan langsung hamil pula. Sedang baru saja, istri Randi jauh lebih muda dariku, sedang Randi seusiaku tapi kata-kata Sarah yang menyalahkanku tak keluar pada Randi. Aku mencoba meraba hati ini, apakah kira-kira aku memang pernah melakukan salah sehingga hanya aku yang disalahkan perkara pernikahan sedang Randi tidak. Begitupun dengan Reno, dia yang notabenenya menikah dengan salah satu temanku juga dan satu kantor juga walaupun beda divisi sama sekali aku tak mendengar kata-kata yang terlontar padaku kala itu. Semuanya hal positif yang Sarah keluarkan dari mulutnya. Aku tak mengerti, dan aku sama sekali tak paham. Apa karena aku perempuan? Atau apa karena aku ada salah padanya? Tapi kenapa kalau memang aku ada salah dia tidak langsung bicara di mana letak kesalahanku tapi malah justru memberikan intimidasi terhadapku dengan melontarkan kata-kata yang benar-benar tidak mengenakkan hatiku. Dan keadaan kali ini justru semakin membuka luka lama dan rasanya luka ini diperdalam entah seperti apa gambarannya aku sama sekali tak mampu menerka seporakporanda apa hati ini.

Waktu tetap berjalan, hari itu kuselesaikan dengan tanpa kesalahan akibat hati yang tak karuan. Aku coba untuk tak mengingat kata-kata yang terlontar dari Sarah, karena kutau hal itu hanya akan menambah sakit hatiku. Aku tetap berusaha melapangkan dada ini dan jalani semua pekerjaanku sebaik yang aku mampu.

Pesawat lepas landas, aku bergegas selesaikan apa yang menjadi tugasku. Biasanya aku pergi melaporkan jumlah penumpang yang berangkat menggunakan pesawat yang aku handle ke pihak Angkasa Pura II. Kami dari ground handling sebagai perwakilan dari airlines wajib melaporkan berapa jumlah penumpang yang berangkat. Laporan ini bertujuan mengetahui berapa banyak penumpang yang berangkat dan sejumlah itu pula pihak airlines menyetorkan uang pajak kepada pihak Angkasa Pura II sebagai fasilitator. Ya, saat ini memang sudah tidak diberlakukan lagi pembayaran pajak secara cash. Pajak ini sudah dibebankan kepada seluruh penumpang lewat tiket, jadi dalam proses pembelian tiket pajak bandar udara sudah termasuk di dalamnya. Untuk besarannya dulu sektor domestik sebesar 40 ribu sedangkan internasional 150 ribu. Sekarang mungkin ada perubahan karena sudah masuk di dalam tiket jadi akupun tak lagi mengetahui besarannya berapa.

Dan hari ini selesai sudah semua tugasku, kaki memang terasa mulai seperti dipukuli oleh beberapa orang, terutama bagian betis. Sedang pikiranku masih saja dibayang-bayangi oleh perkataan Sarah. Kucoba alihkan semua pikiranku pada bagaimana jalanku untuk pulang. Berdesakan dan berlomba untuk mendapatkan tempat duduk di dalam shuttle bus menuju ke perempatan. Memang gambaran ini sengaja kuperbesar dan kupertebal agar semua omongan yang keluar dari mulut sarah yang ku dengan segera terkubur dan mati tertindih pikiran berikutnya. Sayangnya kata-kata Sarah masih saja menang, dan dia merangsak ke atas hingga menamparku begitu keras. Seolah dia berkata, "hem, mana mampu kau menguburku, semakin kau kubur maka aku akan semakin kuat". Kurang ajar, memang benar kata-kata itu justru semakin kuat dan memenuhi pikiranku. Bahkan aku tak perduli dengan keadaan himpit-himpitan dan saling sikut sana sini semua itu berjalan begitu saja sedang kata-kata Sarah subur di kepalaku. Shuttle bus berjalan, dan seseorang entah siapa mencolekku, aku memang bersiri kala itu, betapa aku ingin segera pulang karna ku yakin hanya dengan tidur kubisa menghapus kata-kata Sarah itu.
"Mba, silakan duduk".
"Eh, ia mas, terima kasih banyak ya".
Akupun duduk, ya akhirnya ada juga yang melihat kalau aku sedang hamil. Masih banyak juga ternyata orang baik di sini.

Aku mencoba memejamkan mata, berharap bisa tidur barang 15-30 menit ke depan. Kucoba juga untuk melepaskan segala apa yang ada dalam pikiranku sehingga lebih santai. Nyatanya, semua usahaku sia-sia. Dadaku malah semakin megap-megap. Aku tetap memejamkan mata, dalam gelap pandanganku aku tetap mendengan kata-kata dari Sarah itu. Kenapakah, kenapa, kenapa sebegini kuatnya kata-kata Sarah itu. Apa benar kata-kata itu sunggu membuatku terluka? Akupun tak mampu menjawab sampai di perempatan. Aku segera turun dari shuttle bus, dan menuju ke arah di mana suamiku menunggu. Ya dia hari ini memang sedang libur, pasti dia menyempatkan menjemputku di perempatan. Dan benar saja, dia sudah nangkring di motornya. Senyumnya memang sekejam membantuku menghilangkan kata-kata Sarah itu. Kucium tangannya sebagai tanda baktiku dan aku segera naik dikurai belakang. Dan dalam perjalanan pulang dia seolah tahu apa yang sedang terjadi. Karena mukaku yang kutekuk.
"Ada apa sayang?"
"Engga papa ko,"
"Yasudah,nanti ceritanya di rumah saja ya sayang"
"Iya sayang".

Rumah sudah di depan mata, dibalut rindangnya beringin yang kian hari kian membesar, semilir angin mengiringi seolah mengipasi agar hati menjadi sejuk mencoba memilah mana kekesalan yang terjadi di luar rumah dan kini aku sudah di depan rumah.

Sesampainya di rumah aku bergegas mengganti seragamku, suamiku masih sibuk memasukan motornya. Begitu dia masuk ke kamar aku ceritakan drama apa yang sudah menimpaku sedari pagi hingga sore hari. Sedang suamiku hanya berkata,
"Hidup memang selalu seperti itu, kadang kita minta diperhatikan tapi tidak, dan kadang kita minta tak diperhatikan justru mereka dengan sigap dan tanggap memperhatikan kita dari segala sisinya".
Aku hanya bisa mengangguk, dalam hati terbesit, "memang mudah berkata, karena kau tak pernah merasakan". Namun seolah dia tahu apa yang kuucapkan di dalam hati ini.
"Aku memang tak mengalami secara langsung, tapi cintaku padamu membuat hati ini menjadi hancur lebur juga mendengar ceritamu itu. Bagaimana tidak, seorang yang kucintai bahkan kubuktikan menjadi seorang istri haru menderita oleh perkataan-perkataan itu. Tapi aku tak bisa ikut bersedih hati, jika kau sudah bersedih dan aku berlaku demikian juga lantas siapa yang akan mencoba menghibur dan membantumu kembali percaya diri?".
Aku tersipu dan langsung kubersihkan diriku, sebentar kemudian ku tidur dalam pelukan suamiku.

My PregnancyWhere stories live. Discover now