Bab VI

2.1K 41 2
                                    

"Hai Kinant, bagaimana kabarmu dan bayimu?" seorang perempuan yang aku belum pernah melihatnya sebelumnya menanyakan kabarku dan bayiku, apa aku tidak salah dengar? Sedangkan orang yang aku kenal begitu acuh terhadapku bahkan menjadikanku bahan lelucon mereka. Aku terbengong.
"Tak perlu takut, kami penduduk asli pulau ini, pulau B di mana hanya orang-orang sepertimulah yang mampu datang ke sini." aku kian bingung.
"Aku dan bayiku dalam keadaan baik, memang sesekali mual tapi tidak seterusnya."
"Syukurlah, aku Dwipa panggil saja aku Wipa." aku semakin bingung, jika aku dan dia  baru pertama kali bertemu kenapa dia sudah tahu namaku dan tahu pula keadaanku.
"Bagaimana kau tahu siapa aku dan aku sedang mengandung pula?"
"Siapa yang tak mengenalmu, orang yang sedang dibicarakan oleh hampir seantero negeri lantaran kehamilanmu."
"Hah? Yang benar saja kamu Wipa? Bagaimana mungkin keadaanku bisa menjadi se viral itu? Apakah mereka semua tahu yang sebenarnya?"
"Tentunya tidak, mereka tetap lebih mempercayai perkataan Andi dan juga perkataan Sarah bahwa kau memang salah."
"Lantas, bagaimana denganmu?"
"Sejatinya aku mempercayaimu, begitupun seluruh penduduk yang ada di sini. Mereka semua bisa berada di sini ya karena mereka mendapati kejadian yang sama dengan apa yang sedang kau alami sekarang."
"Hah? Apakah ini dunia nyata?"
"Coba saja kau cubit dirimu!"
"Au, ya memang sakit, artinya?"
"Ya ini memang kenyataan, kita semua yang ada di pulau ini adalah orang-orang yang ingin mengutarakan kebenaran. Melawan ketidakadilan dan melawan segala macam penindasan mulai dari penindasan fisik maupun psikologis. Yang kamu alami merupakan penindasan psikologis Kinant."
"Oya? Bagaimana maksudnya?"
"Ya mereka mencoba menyerang hatimu, kemudian pikiranmu, hingga berujung kekacauan pada dirimu dan akibat paling fatal adalah kau pergi dari dunia ini."
"Lantas bagaimana aku bisa menghadapi semua ini? Dan bisa tetap berada di dunia ini hingga aku melahirkan anakku dan membesarkannya?" aku memang tak suka berbasa-basi, jika memang ada cara untuk membuatku bisa bertahan maka akan kucari di manapun tempatnya.
"Kinant, kau cukup matang menghadapi semua ini. Namun hendaknya kau pergi ke goa yang ada di ujung pulau ini dan temui Sani, dia sudah bertapa sejak dia datang ke sini dan kabarnya dia tak ingin kembali karna dia hanya ingin memberikan seluruh hidupnya untuk orang-orang yang sedang memperjuangkan hak-haknya."
"Bisakah kiranya kau antarkan aku ke sana Wipa?"
"Tentu saja, namun hanya sampai di pelataran goa saja ya, karena aku harus kembali menuju gerbang. Masih banyak tamu yang akan datang dan aku harus menyambutnya."
"Baiklah, kalau begitu segera antarkan aku ke sana."

Aku dan Dwipa akhirnya menuju ke goa di mana Sani bertapa. Harapannya hanya satu, mendapatkan petuah darinya. Karena perjuangan tanpa perencananan sama saja kebohongan.

Sesampainya di pelataran goa Dwipa pamit untuk kembali memuju ke gerbang dan aku melanjutkan perjalanan untuk masuk ke dalam goa itu, di depan goa rerumputan cukup tinggi, tingginya sampai betisku dan begitu masuk ke mulut goa lembab dan becek bau tai kelelawar begitu menyengat. Segera aku beruluk salam.

"Halo, selamat siang, apakah ada orang di dalam?"
"Uhuk uhuk uhuk, Kinant cucuku sudah datang ya. Mari mari duduk kinant."
"Mbah ini Sani? Mbah Sani?" wanita ini bak nenek sihir di Eropa.
"Iiiia Kinant, tenang Kinanth aku bukan nenek sihir. Aku pernah mengalami hal yang kamu alami sekarang."
"Bagaimana kau bisa tau apa yang aku pikirkan? Aku mulai bingung dengan apa yang sedang aku alami ini.
"Tak perlu bingung Kinanth, jika kau menyuarakan kebenaran maka kebenaran yang lain akan berpihak padamu. Kau hanya perlu untuk terus berbuat benar. Baik benar menurut dirimu maupun benar menurut umum."
"Maksudnya?"
"Tak perlu membohongi dirimu, kau cukup matang untuk menerka kata-kataku Kinanth, dan sekarang kau harus pulang. Suamimu menunggumu. Kau benar tentang kesabaran, kau harus terus bersabar sampai kau lupa bahwa kau sedang bersabar. Sekarang pulanglah jangan buat suamimu menunggu terlalu lama."

Akupun mengangguk kemudian berpamitan pada Sani dan keluar dari gua menuju ke gerbang lagi dan berpamitan pula pada Dwipa dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Dan aku pulang mengetuk pintu rumahku.

Begitu pintu dibuka, bersama itu pula mataku terkena sinar dan membuka mata. Ternyata aku terbaring di rumah sakit. Ternyata sinar tadi adalah sinar senter dokter yang diarahkan ke mataku. Ku jumpai suamiku ada disebelahku dan dia tersenyum kepadaku.
"Alhamdulillah Kinanth, akhirnya kau sadar juga. Sehari semalam kau tak sadarkan diri." Senyumnya begitu indah.
"Oya dok, bagaimana keadaan istri saya?"
"Dia mengalami stress akibat tekanan psikologis yang begitu keras. Sebaiknya dia jangan banyak beraktifitas terlebih dahulu, perbanyak istirahat dan jangan bebani pikirannya."
"Iya dok, terima kasih banyak."
"Aku tak apa-apa ko sayang," aku berusaha menenangkan suamiku.

My PregnancyWhere stories live. Discover now