Bab XVII

707 14 0
                                    

Seperti biasanya hiruk pikuk shuttle bus mengantarkan ke perempatan. Dan suamiku sudah kutelepon agar segera menjemputku. Hari ini dia libur dan bersedia untuk menjemputku. Begitu aku turun dari shuttle suamiku sudah berada di sana menanti di atas kuda besinya. Kucium tangannya sebagai wujud abdiku padanya baru kemudian aku loncat membonceng di belakangnya.

Tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jalan menuju rumah kontrakanku masih sama dan Arga suamiku juga sama sekali mengambil jalan pintas. Aku masih hafal kelak keloknya dan tumbuhan apa saja yang aku lewati setiap waktunya. Suamiku memacu kendaraannya juga dengan kecepatan yang sangatlah santai. Goncangan sesekali memang terjadi, akibar jalan-jalan yang sudah lama tak lagi dijamah oleh pembaharuan. Keadaannya sudah tak rata lagi, membuat gejolak sesekali. Pohon mahoni lulus kita lewati, pohon kelapa kemudian, disusul lagi dengan pohon bunga rambat yang entah apa namanya aku kurang paham, pohon rambutan, lanjut lagi dengan pohon mangga dengan buahnya yang gondal gandul kemudian gerombolan pohon pisang dan sedikit pohon kelapa sampai pada akhirnya beringin di depan rumah yang selalu berikan kesejukan.

Aku loncat kbali dari motor, sebentar kemudian aku buka bungkus kakiku baru kemudian aku buka pintu rumahku dan segeralah aku masuk ke sana dengan menyeret suamiku.
"Ada apa sayang? Sebentar aku masukan motor dulu ke depan rumah sini."
"Ia ia, tapi buruan."
Akupun tak menyadari ternyata aku telah bertindak begitu manja pada suamiku.
"Kenapa kamu? Ko tumben manja begitu?"
"Hemmm udah si buruan masuk aja."
"Ia ni juga mau masuk, tapi emg ada apa si ko nyuruh buru-buru begitu? Ada apa coba cerita dulu."
"Udah nanti juga cerita aku, sekarang masuk dulu aja sini."
"Ia ia ni masuk."
"Jangan lupa pintu di tutup!" kemungkinan besar suamiku sudah mengira yang aneh-aneh bakalan terjadi padaku. Ya karena aku tiba-tiba saja menjadi bukan yang seperti aku mau.
"Emang mau ngapain si? Ko sampe begini amat? Ada apa sebenarnya?"
"Emmmmm, tapi kamu mau apa engga?"
"Iya, tapi apa dulu, kamu kenapa? Ada apa?"
Kemudian aku bisikan apa yang ingin kubicarakan padanya.
"Apa tidak lebih baik beli saja sayang?"
Di saat itu hatiku rasa-rasanya begitu berkecamuk dan ingin rasanya aku lempar suamiku dengan segala yang ada di pandanganku. Akupun merajuk dan langsung masuk ke dalam kamar. Aku kunci kamarku dari dalam dan kudengar suamiku menggedor-gedor pintu kamarku sambil berusaha minta maaf. Itu terjadi tidak lebih dari lima menit. Setelah lima menit tak lagi kudengar dia menggedor pintu kamarku yang kudengar hanya langkah kaki yang menuju ke luar rumah. Aku kian kesal demgan tingkah suamiku ini. Di saat seperti ini bukannya membujukku supaya aku tidak ngambek lagi ini dia malah entah ke mana. Kubiarkan dia pergi dan aku berseru dalam hati tak akan ku izinkan dia masuk ke kamar ini.

Kekesalanku masih meraung-raung di hati dan pikiranku. Aku masih tak habis pikir, kenapa suamiku malah justru seolah menyepelekan aku. Sekitar lima belas menit berselang gedor-gedor di pimtu kamarku kembali terdengar. Tapi aku tak acuh, aku tak perduli apa yang dia perbuat. Aku memang mendengar permintaan maaf darinya tapi aku memilih bungkam dan tak memberikan jawaban.

Suamiku hilang sabar, dia sempat mengancam akan mendobrak pintu kamar jika aku tak membukanya. Tapi aku biarkan saja, dan hingga lima menit kemudian aku tak mendengar dobrakan apapun. Sedang dari lobang angin di atas pintu kamarku ku lihat sesuatu masuk lewat sana. Berwarna hijau, bulat sedikit lonjong dan ku kira berjumlah lima dan masih dalam tangkainya. Serupa daun juga masih ada di sana. Dan seketika air mukaku berubah dan terpancar senyum dari wajahku. Rasa puas dan senang menggerayangiku. Aku akhirnya membuka pintu dan langsung lompat pada pelukan suamiku.
"Terima kasih banyak sayangku,muach." Kuciumi pipinya dan kupeluk lagi dirinya. Ku lihat suamikupun tersenyum dan merasakan kelegaan.
"Mau aku kupaskan?"
"Boleh sayang." Suamikupun mengupas mangga itu dan langsung menyuapkannya padaku.
"Bagaimana rasanya?? Enak?" katanya mencoba menanyakan.
"Hemmm ini mangga terenak yang pernah aku makan seumur hidupku sayang, makasih banyak sayangku."
"Ia sayang, sama-sama sayang. Jangan lagi kau merajuk ya sayang. Aku tak sanggup melihat mendung di wajahmu."
"Ia sayang, mungkin ini bukan saja aku yang mau tapi anakmu juga. Oya bagaimana kau bisa mendapatkannya? Kau beli?"
"Sesuai dengan keinginanmu sayangku, aku tak mampu mendustaimu. Ku ungkapkan maksud hatiku pada oemilik pohon mangga itu. Ku panjat dengan segera setelah kudapatkan izin darinya dan ku petik beserta tangkai dan daunnya supaya kau percaya aku sama sekali tak membeli aku ambil langsung dari pohonnya."
Meleleh hati ini rasanya mendengar pemaparan darinya. Aku tak memyangka dia melakukannya juga. Aku tahu ini pasti aneh buatnya namun ku yakin dia menyadari kalau aku nyidam. Aku peluk tubuhnya kemudian aku suapkan sepotong mangga padanya. Terlihat senyumnya asam, dia kurang begitu suka karena rasanya yang begitu asam. Akupun tertawa dibuatnya oleh ekspresi muka keasaman itu.

Sebentar kemudian dia pergi ke warung untuk membeli gula merah, cabai, bawang putih dan garam. Seolah dia mengerti apa yang ada di dalam benakku. Petis, ya dia ulek semua menjadi satu begitu dia kembali ke rumah dan dia sodorkan padaku. Kali ini dia juga memakan sambil menyocolkan potongan mangga ke cobek. Sungguh kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada tara bagiku.

My PregnancyWhere stories live. Discover now