Bab XV

690 11 0
                                    

Aku masih muak dengan keadaan laki-laki yang tak punya akal pikiran yang berpura-pura tidur dan membiarkan beberapa orang wanita menjadi berdiri di dalam kesumpekan shuttle bus.

Suamiku hari ini masuk kerja dan seperti biasa aku harus menuju pulang dengan tukang ojek pangkalan. Aku tak memilih tukang ojek online karena aku tak mau ribet dan yang kedua setidaknya aku sudah membantu memberikan pemasukan pada tukang ojek pangkalan di tengah begitu banyaknya tukang ojek online yang telah mengurangi penghasilan mereka.

Setiap kali aku pulang ke rumah, pikiranku selalu selalu dipenuhi bayang-bayang ketakutan. Bukan pada makhluk gaib atau yang lainnya, tapi bayang-bayang ekspresi mereka ketika menuduhku yang tidak-tidak. Namun setidaknya bayang-bayang itu berkurang satu karena seorang Taiwan yang dengan usaha kerasnya meminta maaf padaku dan aku benar-benar sudah memaafkannya.

Udara masih begitu panas walaupun angin sesekali lewat untuk memberikan kesejukan. Aku diantarkan oleh abang tukang ojek ke rumah. Sesampainya di rumah, rindangnya beringin depan rumah memang begitu menyejukkan. Aku kupas kakiku dari sepatu yang telah membalutku sepanjang lebih dari 10jam. Kupandangi saja beringin itu, memang sepasang burung tekukur sedang bermanja-manja. Di lain dahan ada tekukur lainnya yang menjadi saksi. Tapi dia sama sekali tak menghakimi, dia terlihat manggut-manggut ikut berbahagia melihat sepasang tekukur tadi.

Beres sudah aku menikmati keindahan tadi, aku masuk ke rumah dan membersihkan diri. Berharap semua hawa sebalku pun ikut luruh bersama kibasan air yang kukucurkan ke seluruh tubuh.

Kemudian kunikmati sore seperti biasa di depan rumah di teras rumah lebih tepatnya, menanti senjakala mampir. Burung kuntul seperti biasa bergerombol hendak pulang setelah selesai mencari nafkah. Mereka sangat bersemangat. Terkaku pasti anak istri mereka sudah menantikan hasil kerjanya.

Yang dinanti akhirnya datang juga, semburat memerah diujung barat. Memang tak mampu kujumpai rupa mentari sepenuhnya, setidaknya pancarannya masih nampak memerahkan angkasa. Segera disusul kegelapan disertai binatang malam yang selalu mengusikku. Ya mosquito yang selalu menjadi benalu bagiku. Terpaksa aku harus mengakhiri wisata mataku sore itu dan ku tutup juga rapat-rapat pintu rumahku. Kumandang panggilanNya bersautan, akupun bersiap diri menghadap padaNya. Akan kuceritakan segala kisahku padaNya. Aku tau Dia sudah tau segalanya tapi aku bermaksud ingin bermanja ria denganNya.

Kulihat jam dinding rumahku sudah menunjukan pukul 21.00. Ternyata hampir-hampir tiga jam aku bercumbu denganNya. Aku sangat yakin Dia sedang menyiapkan keindahan, kedamaian dan kebahagiaan untukku dengan segera.

My PregnancyWhere stories live. Discover now