Bab XIX

696 10 0
                                    

Mentari masih bersiap untuk menampakkan dirinya. Rembulan kini mulai condong ke arah barat daya. Dia melambai-lambaikan tangan padaku mencium tangannya dan menebarkan padaku. Seraya berkata, "tenang malam nanti aku akan menjumpaimu kembali, tak usah risau apalagi sedih. Walau penampakkanku tak sesempurna malam ini, tapi memang begitulah seharusnya." Akupun mengiyakannya dan kusisakan senyumku padanya perlahan agar dia mengingat bahwasanya walau malam nanti penampakkannya tak sesempurna malam ini tapi senyumku malam esok akan terus sesempurna malam ini.

Antrian tak sepanjang biasanya, dan aku mendapatkan tempat duduk. Ku rasa ini akan menjadi hari yang sangat indah buatku. Tapi kita lihat saja nanti bagaimana Tuhan akan menentukan hariku.

Lima belas menit saja aku sudah sampai di terminal. Aku menuruni shuttle dengan perlahan kemudian langsung masuk ke tempat kerjaku. Seperti biasanya aku melempar senyum dari satu penumpang ke penumpang berikutnya sampai pada waktunya aku harus berhenti untuk tidak lagi menerima penumpang karena memang sudah habis waktunya. Waktu itu ku gunakan untuk sejenak bernafas. Sarah perlahan mendekatiku. Aku sengaja tak mau membuka pembicaraan. Aku hanya melemparkan senyum padanya. Dia pun memulai obrolan.
"Hai Kinanth, kamu tahu tidak anak baru yang namanya Intan??" Dia memulai.
"Ya aku tahu." Aku menjawab sekenanya saja.
"Masa kata dia ibunya masih berusia 40 tahun sama sepertiku, gila ya, baru 40 tahun sudah punya anak segede dia. Katanya si Intan itu sudah berusia 19 tahun, usia berapa ibunya menikah coba. Gila aja, emang dasar orang kolot orang kampung mah gitu ga mikirin karir yang penting ya nafsu terpenuhi. Apa susahnya kalau masalah nafsu, kumpul kebo aja udah beres ya kan? Kadang suka aneh sama orang kampung begitu." Aku sempat termenung dan kaget, kembali aku mendengar pembenaran adanya kumpul kebo keluar dari mulutnya.
Eni yang memang sudah berada di sampingku sedari tadi dan mendengarkan semua celoteh dari Sarah ini langsung mangagetkanku. Dia langsung saja menyambar.
"Eh Kinanth, kamu katanya mau beli KOI, jadi engga??" Sungguh luar biasa si Eni ini, seolah dia tau apa yang ada dalam kepalaku.
"Ia En, jadi, nanti ya abis closingan kita beli ke sana bareng." Sarah ku lihat mengerutkan dahinya. Akupun sama sekali tak mengomentari pernyataannya. Hanya Ani yang memang sepantaran dengan Sarah yang menanggapi.
"Ia Sar, aku juga bingung dengan orang yang nikah di usia muda gitu. Berarti ya ibunya Intan menikah usia 19 tahunan kali ya Sar."
"Engga lah An, masa 19, kalo menurut itunganku si paling usia 20an kali."
"Eh iya ya, kan buat nunggu lahir cuma 9bulanan jadi ya kalo 20an tambah 9bulanan ya kisaran 21 tahun ibunya Intan dah punya bayi."
"Iya kayaknya mah begitu dah."
"Aku juga seusia ibunya Intan, tapi anakku yang paling besar baru berusia 8 tahun. La ini dia malahan udah kerja. Gila emang ya."

Akhirnya mereka berduapun pergi dari meja kerjaku. Entah mungkin karena melihat raut wajahku yang biasa saja dan tak lagi tersiksa dengan celotehannya itu. Aku yakin dia sengaja datang ke meja kerjaku hanya untuk memberikan gambaran padaku bagaimana nantinya kalau anakku sudah besar, aku yakin mereka membayangkan bagaimana seorang ibu muda yang memiliki anak yang mungkin tingginya sudah sama bahkan lebih dari aku dan bahkan sudah bisa mencari uang sendiri. Bagi aku sendiri, aku memang menghendaki kalau-kalau nanti punya anak ya pas masih muda, dan nantinya kalau anakku besar aku juga belum terlalu tua. Setidaknya bisa menyaksikan anakku menikah kelak dan sampai punya cucu. Namun percaya atau tidak keindahan yang ada dalam pikiran kita tidak selalu sama dengan keindahan yang ada dalam pikiran mereka. Tak bisa juga aku memaksakan mereka untuk satu pemikiran denganku. Tapi pada intinya perlahan-lahan aku mulai kebal dengan segala macam celotehan yang keluar dari mulut mereka, terutama Sarah.

Hanya berselang beberapa menit ada satu lagi orang yang datang ke meja kerjaku. Entahlah dia mau apa, mungkin juga mau berkata sama seperti Sarah dan Ani tapi aku tak akan gentar. Kupingku sudah terasa bebal, dan hatiku juga sudah ku beton tak ada yang mampu menembus barang secuil saja.
"Kinanth, kau dengar apa kata mereka berdua tadi??" kata Sonia yang satu pantaran jabatannya dengan Ani dan Sarah.
"Ya, kenapa ya?" jawabku singkat dengan pandang acuh tak acuh.
"Ya, kenapa mereka malah tak suka dengan keadaan itu ya? Harusnya sebaliknya dong, di usia semuda itu ibunya Intan sudah bisa menyaksikan anaknya menghasilkan uang sendiri, mungkin malah sudah bisa membantu dia. Tapi ko mereka malah menyalahkan ya? Aku juga sebenernya ingin seperti itu, tapi apa daya aku dulu nikah usianya sudah lumayan. Anak tertuaku saja sekarang baru berusia 7 tahun. Sedangkan aku sekarang sudah 40 tahun. Kalau hitungan umur, anakku menikah usia 30 tahun aku sudah berusia 67 tahun. Ia kalau aku dikasih umur panjang, la kalau tidak? Haduh ko malah aku jadi kepikiran ya."
"Ya mba Sonia, kalau aku sendiri si kurang lebih berpikiran seperti mba. Ya karena umur kan kita ngga ada yang tau ya mba. Itunganku ini aku usia 26 nanti punya anak. Nanti kalau anakku usia 20 tahun aja aku sudah 46 tahun mba, tapi ya semoga saja kita selalu diberikan kesehatan mba."
"Ia Kinanth, aku ke sana dulu sebentar ya." Sonia pun pergi dan hatiku lega juga. Kupikir dia juga akan menghardikku, mengadiliku dan mencoba menghancurkan benteng pertahananku eh ternyata malah sebaliknya. Mungkin karena dia satu pemikiran denganku dia malah justru lebih menguatkan benteng pertahananku. Hari ink ku anggap aku lolos dari bayang-bayang penghakiman dan aku mendapat satu kekuatan lebih.

Selepas istirahat, aku memulai lagi pekerjaanku seperti biasa. Kali ini melayani penumpang yang hendak pergi ke Taiwan. Suasana di depan meja kerjaku ramai lancar. Ya walaupun di sebelah, ada begitu banyak barang para penumpang yang hendak pergi ke Saudi Arabia Untuk menjalankan ibadah Umrah. Belum lagi pengantar yang lalu lalang memenuhi setiap jengkal ruang yang ada di terminal ini. Aku sendiri tak menyalahkan mereka, ya mereka mengantar bukan serta merta mengantar kolega atau tetangganya yang hendak pergi Umrah, tapi mereka mengantar sekalian rekreasi. Mereka kebanyakan berasal dari daerah. Selain keperluan mengantar, mereka juga sekalian ingin mengetahui seperti apa si lapangan terbang. Mungkin di daerah mereka juga ada lapangan terbang, tapi hanya untuk pesawat-pesawat kecil saja. Tak jarang mereka menggelar tikar dan memakan bekal di sudut-sudut ruang di terminal yang tersedia. Mereka membongkar semua perbekalan mereka,menyuap tanpa sendok, orek tempe beserta mie goreng dan juga sayur kecambah. Kalau sedang beruntung kujumpai juga di antara mereka memegang paha ayam dan menggigitnya kemudian tangan kanannya menarik tulang paha ayam itu lalu kemudian mengunyahnya dan sukses membuatku ngiler.

Ku lihat dari ujung terminal muncul sosok tinggi besar berjalan tegap dengan gigi geripis yang tak henti dilontarkan ke setiap yang berpapasan dengannya. Ya hampir semua petugas yang ada di terminal ini mengenalnya, atau mungkin bisa jadi dia yang sok kenal pada setiap orang. Atau aku yang terlalu sentimen terhadapnya. Di luar masih begitu cerah, mentari bahkan ada di ubun-ubun. Tapi kehadirannya membawa guntur yang menyambar-nyambar. Ingin rasanya segera ku tutup kuping ini, agar tak bisa mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Sudah dapat kupastikan bahwa yang keluar dari mulutnya adalah duri-duri tajam yang siap menyayat hati ini. Aku masih saja terdiam dan mengerjakan apa yang seharusnya kukerjakan. Menerima penunpang, melayani permintaannya kemudian melempakan senyum sesudahnya. Dan Station Managerpun seperti biasa menghampiriku, membantuku mentranslete dari bahasa Mandarin ke bahasa Inggris sehingga aku tahu apa yang penumpang ingin katakan dan apa juga yang menjadi keinginannya. Aku tahu, Andi si pria dengan gigi gripis itu sudah memperhatikanku sedari dia datang. Akupun sudah bersiap menata hatiku, gerangan apa yang akan dia muntahkan dari mulutnya itu. Dan pahitnya penumpang hampir habis, dan Andi mendekati Sarah yang ada di samping meja kerjaku.
"Sar, lihat tu Sarah, seperti biasanya keganjenan sama bos kita."
"Ia, aku juga bingung, kenapa si bos ko jadi lengket banget sama Kinanth. Padahal menurutku dia biasa aja, apalagi ditambah dengan kehamilannya sebentar lagi juga pasti badanya bengkak."
"Ia, Sar, aku juga bingung tuh. Yang jelas si si bos ga mungkin bisa sedeket itu sama Kinanth tanpa ada apa-apa. Itu semua engga mungkin banget. Pasti antara mereka berdua ada apa-apa ni Sar."
"Ia juga ya Ndi, baru sadar malah aku Ndi."
"Ia Kinanth sengaja kali nyari yang matanya sipit kaya bos kita supaya kalo-kalo tar anaknya lahir kan engga jauh-jauh amat dari si Arga tu. Si Arga kan juga sipit matanya walaupun dia bukan China."
"Jeli juga cara pandangmu Ndi, wah wah ngga nyangka ya ternyata perempuan berhijab seperti Kinanth pikirannya sepicik itu."
"Ia Sar, yang jelas pastinya si Kinanth itu ada apa-apa ama bos kita itu. Apa aja yang Kinanth bilang masa ia diturutin coba? Memangnya Kinanth siapa, pacar bukan, siapa bukan ini malah kaya di perhatiin banget ama bos kita. Inget ga pas si bos waktu itu kelepasan bilang kalo Kinanth hamil duluan? Masa ia dia sampe merelakan diri makan kripik pedes hanya untuk mendapatkan maaf dari Kinanth, kan aneh yakan?"
"Bener-bener lo ya Ndi. Otak lo encer bener ya. Aku sendiri baru kebuka ni setelah lo bicara kaya gini."
Aku terdiam, ngalamun mendengar semua itu. Padahal aku sudah coba untuk menutup telingaku dan tidak memfokuskan pada pembicaraan mereka. Tapi apa daya, yang aku tutup hanyalah pikiranku saja untuk tidak mendengarkan mereka. Ternyata kuping ini masih saja berfungsi dengan jelasnya, ditambah lagi saraf dari telinga mengirimkan pesan ke otak eh otak langsung ke hati trus kemudian otak memberitakan kepada mata supaya mengeluarkan airnya sehingga banjir membasahi pipiku. Hampir-hampir aku tenggelam oleh air mata itu akupun mencoba mengurasnya perlahan. Aku langsung minta izin ke supervisiku ke toilet. Barangkali tempat pembuangan itu berfungsi juga kala aku mencoba membuang luka di hati ini. Rupa-rupanya kembali aku harus menyimpulkan bahwa segalanya adalah kepunyaanNya, ku bilang hari ini cerah memang cerah sampai kecerahannya membakar ubun-ubunku dan memanggang hati ini. Aku harus simpulkan bahwa apa yang kita lihat, apa yang kita rasa dan apa yang kita dengar saat ini adalah apa yang sebenarnya sama sekali kita tak ketahui.

Aku kembali ke meja kerjaku setelah simpulanku bulat. Tak perlu sok tahu akan masa depan karena yang punya adalah Dia. Cukup kita jalankan peran kita sebaik-baiknya. Kutarik nafas dalam-dalam. Kusiapkan sebanyak-banyak senyum yang kupunya untuk kuberikan padamereka berdua.

My PregnancyWhere stories live. Discover now