Bab XXII

725 9 0
                                    

Kini mungkin memang saat yang tepat untukku ceritakan. Bahwa apa yang kau lihat bukanlah yang kau lihat. Apa yang kau lihat hanyalah segelintir kebenaran. Apa yang kau lihat adalah apa yang tak nyata. Nyatanya ada padaku.

Kau lihat aku sebagai seorang yang begitu beruntung. Seorang anak dari kampung yang akhirnya bisa kerja di tempat sementereng lapangan udara. Sebuah tempat yang hanya disinggahi oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas. Sebagian ekonomi menengah ke bawah berada di sana hanya untuk berkunjung atau mengantar sanak saudara yang akan bekerja di luar negeri atau tetangga yang hendak menjalankan ibadah haji ataupun umrah. Atau, hanya karena transportasi udaralah yang bisa menjangkau tempat yang akan dituju oleh mereka maka mau tak mau mereka harus menggunakan transportasi udara. Dan bagi kaum ekonomi menengah ke bawah tak jarang mesti mengumpulkan setahun penuh hanya untuk pulang kampung.

Bekerja di tempat sementereng lapangan udara, tepatnya Soekarno-Hatta tentunya mendapat status sosial yang tinggi di masyarakat. Ya, tapi mereka tak pernah tahu bagaimana menjadi aku dan teman-temanku. Gambaran menghadapi keseharian di shuttle bus dengan nyawa taruhannya hanyalan salah satu dari sekian banyak gambaran tentang betapa menjadi petugas di lapangan udara adalah suatu hal yang luar biasa. Bagaimana tidak, bayangkan dikala kalian masih terlelap tidur aku harus menyentuh gemericiknya air untuk menyegarkan badan setelah itu aku harus sudah berdandan dan menyiapkan senyuman di pukul 03.00 dini hari. Menuju ke perempatan, pasar mungkin ada tutupnya, tetapi antrian shuttle bus tak pernah sepi. Dari perempatan memang begitu teratur, securitypun berjaga di sana guna mengatur barisan. Begitu sampai di terminal, satu security check harus kita lewati. Semua barang bawaan berupa tas dan handphone kita masukan ke mesin x-ray. Selesai sudah, kami harus lanjutkan dengan brifing menu apa saja yang ada pada penerbangan hari itu. Setelah selesai kami berdoa mengharap semua pekerjaan bisa berjalan dengan lancar tanpa adanya kesalahan. Pukul 03.30 pagi kami sudah mulai melayani penumpang. Dengan berbagai macam kriteria. Ada penumpang yang memang sudah sering naik pesawat dan semua dokumen sudah dilengkapi jadi tak perlu waktu lama. Kemudian ada yang pulang kampung menuju negaranya maka itu suatu yang mudah. Tak sedikit yang datang dengan segudang masalah mulai dari kelebihan barang bawaan sampai dengan dokumen yang tidak lengkap yang mengharuskan aku dan teman-temanku menarik urat. Tapi kembali harus dikendorkan karena sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa mengharuskan staffnya mengalah selagi alasan para customernya masuk akal. Yang lebih parah lagi, jika ada orang dari negara lain, yang hanya bisa menggunakan bahasa negaranya dan bermasalah juga dengan dokumen itu akan sangat merepotkan. Walaupun memang di perusahaanku memang menyediakan penerjemah guna menyelesaikan segala masalah yang ada seperti ini.

Masalah pekerjaan memang selalu begitu itu saja. Tapi masalah yang paling sering mengganggu pikiranku adalah masalah pernyinyiran. Budaya pernyinyiran memang tak pernah ada habis-habisnya, sedari zamanku masih sekolah dasar hingga kini terus saja ada, tentunya dengan cara yang bervariasi. Tentang bagaimana orang lain menilai ku, kemudian bagaimana mereka menghakimi segala keputusan yang kubuat, kemudian apa yang kukenakan, apa yang kumakan, apa yang kubicarakam. Segalanya mereka berikan komentar. Pahitnya komentar negatif selalu menempati urutan yang teratas di antara komentar-komentar positif yang terkubur di dalamnya.

Belum lagi pernyinyiran di kampung. Kadang jauh lebih menyakitkan. Mereka hanya melihat sisi luarku saja. Seorang yang bekerja di lapangan udara mereka anggap sebagai sesuatu yang wah dan mereka anggap aku sebagai gudang uang. Tak sedikit dari saudaraku bahkan tetanggaku di kampung yang memberanikan diri meminjam uang. Padahal aku di sini sama saja dengan mereka malah mungkin jauh lebih parah. Bedanya mememang aku setiap bulan sudah dipastikan menerima gaji sesuai upah minimun ditambah dengan lembur. Ya bagaimana tidak, setiap hari aku dipastikan lembur karena masuk pukul 03.00 pagi dan baru pulang di pukul 15.30 sore. Dua belas jam lebih bagi seorang yang sedang dalam keadaan berbadan dua,kalian bisa bayangkan bagi yang sudah pernah merasakan namanya kehamilan. Aku coba nikmati semua itu. Kalau kata orang dulu kita ini wayang, jadi ya jalani apa yang dalang kehendaki. Bedanya kita bisa menentukan kita mau jadi Drupadi, atau Shinta atau mau jadi yang lainnya. Walaupun sebenarnya ya sebagai wayang tak boleh menawar mau jadi apa.

My PregnancyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang