Bab XXI

692 9 0
                                    

Selesai sudah pekerjaanku, dan kupikir belum ada lagi yang menarik untuk ku ingat-ingat sebagai pelajaran bagi kehidupanku. Aku mengakhiri kerja pada hari ini dengan senyum lebar karna aku tlah bersekutu dengan diriku untuk tetap tersenyum apapun yang terjadi. Karena senyum adalah obat dari segala luka maka kupilih senyum sebagai penyejukku. Walau memang masih saja sakit kadang terasa tapi kucoba bersahabat dengan sakitku hingga kian hari kian akrab dengan sakit itu dan aku tak lagi merasakan kesakitan itu. Sakit hanyalah semacam sebutan bagi suatu kondisi namun karena keakrabanku padanya maka aku tak lagi berada di kondisi itu. Bahkan rasa sakit itu tak lagi muncul, yang kukenal sakit hanyalah penyebutan saja tapi perkara rasa sakit itu aku sudah tak lagi merasakannya.

Seperti biasanya, antrian di halte shuttle bus mengular tanpa kepala. Bercabang-cabang dan berhamburan mana yang pertama ada di sana dan mana yang baru saja tiba. Kini bahkan muncul ungkapan bahwa naik shuttle bus taruhannya nyawa. Memang terlalu berlebihan tapi ini kenyataan yang terjadi. Kami semua berangkat pagi buta dan berakhir di siang hari dipayungi teriknya matahari dan dirasuki kantuk yang tak tertahan lagi. Akal sehat kadang menjadi berhenti dan tak lagi mengenal mana lelaki mana wanita semua ingin dianggap sama dengan dalih sesama manusia. Tak ada lagi laki-laki yang mempersilakan wanita, semua ingin diperlakukan sama. Mungkin dahulu kaum wanita ingin setara dengan kaum lelaki dan kini kaum lelaki seolah menuntut balik bahwasanya yang ingin pulang bukan hanya kaum wanita yang lelah dan ngantuk juga bukan wanita tapi lelakipun mengalami hal yang sama dan bahkan bisa dikatakan lebih parah dari wanita. Walhasil tak ada yang mau mengalah, desak-desakan selalu terjadi mungkin sentuh pantat dan yang lainnya menjadi hal yang biasa dan bukan lagi hal yang menjadi keributan. Aku tetap menanti giliran, dengan mengutuk penyedia layanan yang hingga kini tak lagi membedakan lajur laki-laki dan lajur perempuan kalau di terminal kalau di perempatan tempat kita pulang memang sudah sesuai dengan tempat antrian yang sepantasnya. Tapi di terminal, tak ubahnya hanyalah antrian dengan mengutamakan adu kekuatan. Aku menanti terus sampai pada giliranku. Satu dua bus masih aku bisa menahan tapi begitu bus ke tiga ke empat ke lima aku masih kalah juga aku tak tahan lagi. Aku memang sedang mengandung muda tapi naluri binatangku pun tumbuh dengan suburnya. Shuttle pun datang dan aku langsung mengaum.
"Cukup!!!" seketika itu aku menjadi pusat perhatian.
"Kalian yang baru datang minggir kataku!!" mereka langsung memberiku jalan. Mungkin secara psikologi mereka merasa kaget sehingga mereka hanya mengikuti aoa kataku tanpa berkomentar sepatah katapun.

Aku berhasil naik shuttle dan mendapat tempat duduk. Tapi tatapan mereka terhadapku tetap. Tak ada yang berpaling, beberapa dari mereka masih mencari-cari mana sumber teriakan tadi. Aku hanya terdiam dan sama sekali tak memepedulikan apa yang mereka sedang lakukan. Ku tarik nafas dalam-dalam kemudian kuhembuskan perlahan. Dan aku baru tersadar bahwa persekutuanku dengan senyum telah runtuh. Aku yakin senyum merasa terkhianati olehku. Aku coba meminta maaf padanya dan aku mencoba terus membujuknya agar aku bisa kembali bersekutu dengannya. Namun masih saja dia merajuk dan aku tak tahu sampai kapan. Kubiarkan dia tanpa kata, kuniatkan sesampainya di rumah nanti akan ku ajak bicara baik-baik. Akan kujelaskan apa yang membuatku berkhianat dan aku sudah bersiap juga untuk taubat.

Sesampainya di perempatan, aku masih berdampingan dengan senyum. Diapun tak berkata walau sepatah. Lukisannyapun tak muncul walau secuil. Dan aku mencoba memulai.
"Hai, maafkan aku, aku tak bermaksud untuk berkhianat padamu. Tentunya kau bersama-sama denganku tadi dan kau juga tahu bukan bagaimana situasinya?" Dia sama sekali tak mengubah sikapnya.
"Aku mohon maafkan aku, aku ingin kembali bersekutu denganmu. Dan aku akan lebih berhati-hati lagi dalam bersikap dan bertindak. Aku mohon maafkan aku. Kembalilah seperti sedia kala." Dia tetap tak bergeming dan sama sekali tak membalas permohonanku.
"Aku paham akan kesalahanku, dan aku tau ini bukanlah kesalahan yang mudah dimaafkan. Tapi yang aku tahu senyum selalu memberikan keindahan bukan, bukan kedataran dan bukan juga kemasaman. Aku percaya kau akan kembali oada kodratmu, apalagi aku sudah meminta maaf padamu. Aku tak ingin juga berkata panjang lebar tapi aku ingin membuktikan keseriusanku memperbaiki hubunganku denganmu. Hanya itu tidak lebih. Aku ingin bersekutu lagi denganmu dan bersama-sama menebar benih-benih perdamaian." Perlahan-lahan kurasai bibirku melebar dan aku rasai juga pipiku sedikit mengembang dan kurasai gigiku kelihatan. Aku yang penasaran langsung menuju ke toilet guna memastikan. Dan ternyata sebuah hubungan haruslah diperjuangkan. Tanpa perjuangan semuanya hanyalah isapan jempol semata. Kulihat di cermin gigiku memang kelihatan pipiku memang mengembang dan bibirku memang melebar.
"Akhirnya kau kembali padaku, dan terima kasih kau telah memberiku kesempatan." Kulanjutkan perjalanan menuju pulang. Akupun tak perduli lagi kalau-kalau tukang ojek menganggapku gila karena senyumku keterusan sampai di depan rumah.

My PregnancyWhere stories live. Discover now