Terabaikan

131 6 5
                                    

Vote, jangan lupa.
Berbaiklah sedikit

Ketika kata menunggu pasti selanjutnya akan ada kata kegelisahan karena hanya perasaan itu yang senantiasa kita rasakan ketika sedang menunggu. Hari sudah hampir tengah hari sejak Mas Andra serta ke dua mertuaku pergi ke rumah sakit membawa Ibu Rani yang terkena musibah terjatuh di dalam kamar mandi. Sampai sekarang aku tak mendapatkan kabar apa pun dari Mas Andra bahkan sudah berpuluh kali aku mencoba menghubunginya namun tak jua diangkat, pesanmu tak ia balas. Membuatku khawatir dan entahlah. Seharusnya dengan keadaan seperti ini aku jauhkan perasaan ini namun bagaikan tak diinginkan, justru dengan kejadian ini membuat perasaan tak karuan. Takut, cemas menjadi satu menumpuk dalam benakku.

Andai ini terjadi disaat hubunganku dengan Mas Andra baik-baik saja mungkin aku bisa tenang ketika aku ditinggal seorang diri. Tetapi, ini terjadi ketika hubunganku dengan suamiku tidak bisa dikatakan baik. Mas Andra masih belum mau untuk bicara denganku, bahkan menatapku saja dia enggan. Melihat dia begitu panik serta Ibu yang berusaha menenangkan Rani membuatku merasa terkucilkan. Seolah aku bertanya pada diriku sendiri. “Aku ini siapa?” rasanya aku ingin pulang di mana keluargaku berada.

Yang tidak Mas Andra tahu jika di sini aku ketakutan.

Yang tidak Mas Andra tahu jika di sini aku cemburu.

Allah, jauhkan hal-hal buruk pada pernikahanku.

Aku terus saja melantunkan doa-doa untuk kelanggengan pernikahanku karena sesungguhnya ketakutan akan pernikahan kembali kurasakan. Memang aku tahu jika sebuah pernikahan, sebuah hubungan pasti ada saat-saat tak selaras dengan perbedaan pendapat tetapi ini terlalu mendadak. Sikap dingin yang acuh tak acuh membuatku terkejut. Aku terbiasa dengan sikap Mas Andra yang hangat dan penuh kasih sayang padaku tak bisa melihat dia yang menghiraukanku secara tiba-tiba. Aku takut juga khawatir.

Suara sirine ambulan menyadarkanku dari lamunan. Aku terkejut mendengar sirine yang selama ini membuatku takut, entahlah bunyi sirine seolah mengundang sebuah kematian sendiri. Sirine masih terus berbunyi bahkan sekarang begitu jelas. Deru mesin mobilpun tak lagi terdengar hanya suara maut itu tetap terdengar yang semakin jelas. Bahkan suara tangis mulai terdengar memilukan.

Tunggu dulu.

Astaghfirulloh.

Setelah sadar akan beberapa kemungkinan segera saja aku ke luar dari dalam rumah dan di sana benar. Mobil putih itu berhenti di tengah jalanan kecil dengan petugas yang mengeluarkan seseorang yang tubuhnya sudah tertutup kain putih seutuhnya di atas brankar rumah sakit. Aku terkejut, dalam hati aku mengucapkan ‘Innalillahi wa’innalillahi rojiun’ tanpa diberitahu pun aku tahu siapa yang meninggal melihat petugas itu membawa sang jenazah ke dalam rumah Rani. Ibunya meninggal.

Tak lama kemudian mobil Mas Andra masuk ke dalam halaman rumah. Segera saja aku menghampirinya. Aku bisa lihat raut kesedihan yang terpancar dari Mas Andra, diapun terlihat sangat lelah. Dengan keberanianku aku menghampirinya memegang lengannya yang langsung mendapatkan tatapan darinya membuatku urung dan langsung menjauhkan tanganku.

“Ibu Mbak Rani tidak bisa diselamatkan, Mas?” tanyaku retorik

“Ya, pembuluh darahnya pecah. Kamu sebaiknya ke sana, cobalah tenangkan Rani. Dia sangat kacau, Mas sudah mencoba menenangkannya tetapi tetap saja Mas ini lelaki yang bukan makhramnya. Lebih baik kamu. Kamu bisa?”

P E R F E C TWhere stories live. Discover now