Ajakan

100 3 1
                                    

I hope you like this

Happy reading!

💞

Andra

Apakah mendekati murid sendiri adalah sebuah kesalahan? Apakah itu adalah sebuah dosa? Bukankah hati tidak bisa memilih ke mana ia akan berlabuh? Mengapa aku harus disalahkan jika aku tertarik dengan muridku sendiri? Jika aku bisa akupun tidak akan melakukannya, aku tidak akan menyukai gadis berumur 17 tahun yang pantas menjadi adikku sendiri. Tapi ini bicara soal hati, bukan? Kita tidak bisa memilih siapa orang itu. Perasaan itu datang begitu saja tanpa bisa aku cegah.

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku tertarik padanya. Mungkin ketika pertama kali aku mengajar kelas XI-tepat di kelasnya. Dia yang pendiam dan selalu mengerjakan tugas dengan baik, mematuhi semua peraturan bahkan di kelas dia bisa mendengarkanku dengan begitu baik. Memiliki sopan santun dan terlebih dia begitu cantik. Cantik rupanya juga perilakunya. Dia berbeda. Sedikit berlebihan dan terdengar cheesy tapi ini benar, ketika aku masuk ke kelas aku hanya melihat sinar pada tubuhnya. Dia bersinar dengan caranya sendiri meskipun dia terlalu kaku pada hal pertemanan.

Takdir dan kebetulan itu beda tipis. Kebetulan tanpa ada sangkut paut dengan takdir pun pasti tidak akan pernah terjadi bukan? Aku begitu senang ketika mengetahui jika tempat tinggalku dekat dengan tempat tinggalnya. Sungguh kebetulan yang berasa takdir.

Dari sanalah aku berani mendekatinya dan bertambah pula rasa sukaku padanya. Terlebih ketika mengetahui sendiri bagaimana dia menyikapi adiknya yang sedang dilema akan pendidikannya. Dewasanya dia ketika dia memberi pendapatnya pada sang adik. Di sana aku tahu rasa sukaku berubah meenjadi lebih besar bisa dibilang aku mencintainya.

Tetapi ketika dia mengutarakan hatinya jika dia merasa tidak nyaman dengan pendekatanku. Itu sedikit membuatku ... kecil. Harapanku menurun sejurus dia meminta aku menjauh dengan lembut. Dan pada hari itulah aku menyerah. Aku tidak ingin membebaninua dengan pendekatanku padanya. Aku tidak ingin membuatnya risih atau apa pun itu. Jadi, untuk sementara aku akan menjauhinya. Dan aku pun akan memantapkan hatiku padanya. Apakah perasaan ini memang untuknya atau hanya sekedar rasa kagumku padanya.

Kegiatanku mengajar serta banyaknya tugas kuliah banyak membantuku untuk mengabaikan perasaanku dan juga dirinya. Namun, pada nyatanya aku tidak bisa berlama-lama menahan perasaanku yang sarat akan rindu. Dan setelah dia lulus, aku banyak berbicara dengan Reihan-adiknya sekaligus muridku. Aku sering bertanya kabar sang Kakak. Sejauh ini Reihan tidak menolakku justru dia seperti mendukungku. Aku turut bersyukur untuk itu. Setidaknua ada salah satu keluarganya yang menerimaku.

Tak lama kemudian kuliahku selesai, kini aku berhasil menyelesaikkan pendidikan S2 dalam waktu yang tepat. Sesuai rencanaku semula, setelah lulus aku mengundurkan diri dari mengajarku dan kembali ke Jogja. Aku pergi ke Jakarta memang hanya untuk sekolah dan soal mengajar itu hanya untuk mengisi waktuku. Setidaknya aku bisa membagi ilmu yang sudah aku dapatkan. Itu sesuatu hal yang berguna dan tentu saja menyenangkan.

Kembali ke Jogja aku langsung mengajukan lamaranku ke berbagai Universitas di sana bahkan UGM-Universitas pada awalnya. Saat di sana kerap aku memikirkannya, merindukannya bahkan menginginkannya. Setiap hari aku selalu menyematkan namanya dalam doa pada setiap sujudku. Menyemogakan dia akan bersamaku. Menyemogakan dia menjadi makmumku di sepertiga malamku.

Jika aku kembali mendekatinya apakah dia akan menerimaku? Merasa nyamankah dia nanti atau tetap merasa tak nyaman denganku?

P E R F E C TWhere stories live. Discover now