Chapter 32

45 9 0
                                    

Rindu. Sebuah kata beribu arti. Merasakan suatu hal yang berharga ketika ia tak ada. Kekosongan hati yang telah terisi lalu menghilang. Rasa sesak yang tak kunjung reda kala tak jumpa.

Cinta. Kata singkat berjuta makna. Kala suka duka bercampur rindu, bisa jadi sebuah rasa. Redam legam amarah yang berubah indah. Sebuah ikatan tanpa persetujuan, timbulkan asa tak beralasan. Memabukkan, serta jua membahagiakan. Meski kadang tumbuhkan luka nan menyakitkan.

Gadis berparas cantik berjalan sendu menatap lantai. Bunyikan decit sepatu lebih keras dari biasanya.

Semalam ia bermimpi. Mimpi buruk akan rasa sakit di tinggalkan oleh seseorang yang ia sayang. Lagi. Ia tak mau terluka. Seringkali ia menutup hati agar luka lamanya tersembunyi. Saat tersamar, mimpi masa lalunya kembali hadir. Mengiang jelas memberi peringatan. Bahwa, ia tak boleh memberikan hatinya untuk siapa pun lukai. Termasuk untuk jatuh cinta. Jangan terlibat dengan rumitnya rasa itu.

Tapi bagaimana jika gadis berambut panjang gelombang itu terlanjur jatuh cinta? Kini pun ia tengah rindu. Menyimpan asa tuk segera jumpa dengan sang pencuri hati.

Gadis itu berjalan resah. Waktu masih menunjukkan pukul 06.15 WIB, tapi Lina sudah siap menuju kelasnya, berteman sepi dengan segelintir orang yang diabaikannya.

Ia menimang lagi keputusan apa yang harus diambilnya nanti. Keputusan yang akan menentukan jawaban atas pertanyaan pemuda yang sudah berhasil menyita hati beserta pikirannya.

Sebenarnya ia sudah yakin, namun karena mimpi sialan itu, hatinya meragu.

Sesaat kemudian ia teringat sesuatu, 'Tidak selamanya luka menimbulkan rasa sakit. Ada kalanya, luka yang kan menuntun kita pada kebahagiaan.'

Lina tertegun, menghentikan langkahnya sesaat. Waktu itu, gadis itu mengacuhkan kalimat yang dikutipnya dari sembarang novel yang dibacanya. Ia bahkan tak mau mencari makna atas apa yang ia tidak mengerti. Itu hanyalah kata-kata yang tidak akan bisa merubah apa pun--baginya kala itu.

Namun kemudian Lina menautkan kedua alis tebalnya. Berpikir. Mungkin dari beberapa quotes itu, ia bisa menemukan jalannya.

'Lupakan derita sesatmu, beranjaklah menuju cahaya terang meski berkali-kali kakimu harus melewati pecahan beling sekalipun.'

"Benar. Dhyas juga pernah bilang kalau gue nggak boleh terpacu sama satu kesedihan. Lagipula, semua itu akan berakhir. Ya. Begitu pula dengan rasaku ini. Aku hanya harus bangkit kalau seandainya dia mengecewakanku. Buktinya, selama ini aku juga salah menilai Bang Nando dan Papa."

Setelah bermonolog panjang meyakinkan diri-sendiri, Lina mengukir senyuman lega. Kakinya tak lagi kelu untuk melangkah. Gairah kembali membangunkan semangatnya yang sempat redup. Ia bersenandung ria menuju kelas.

Lalu inilah saatnya, sosok pemuda yang dicarinya tiga hari belakangan ini akhirnya muncul. Ia berdiri membelakanginya, tengah meletakkan ransel biru dongkernya di atas meja.

"Dhyas?" Lina melebarkan senyuman, membiarkan beberapa gigi putihnya terpajang ceria.

Cowok itu menoleh, lalu terdiam memperhatikan.

Oh tidak. Bukan terdiam. Dia tengah terpanah memandangi gadis yang berdiri di ambang pintu. Betapa cantiknya gadis idamannya itu. Baru kali ini ia bisa melihat lagi senyuman pepsodent yang terukir dari bibir Lina dengan sangat tulus.

Entah mengapa, cowok itu jadi gugup. Wajahnya datar seperti orang bodoh, tampak konyol tanpa senyuman. Tapi masih tampan tentu saja. Ia melongo. "Hai, good morning calon pac-"

Ia menghentikan ucapannya, hendak meralat ketika Lina sudah tepat berada di depan matanya saat ini, hanya berjarak satu langkah saja. "Maksud gue-"

Twin'kle LoveDär berättelser lever. Upptäck nu