Chapter 22

47 11 35
                                    

Dengan langkah tertatih Lina dan Adlan menjauh dari lingkungan sekolah. Kini mereka tengah menyetabilkan napas mereka yang terengah-engah akibat kelelahan. Di tengah jalanan yang ramai pun mereka memanggil taxi.

Hingga sampai pada saatnya mereka mendapatkan kelegaan. Namun pada sela-sela deru napas mereka yang memburu, terdapat kesunyian di dalamnya. Tak satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Barulah setelah supir taxi wanita yang separuh fokus menyetir mobilnya bertanya 'Mau kemana, Dek?' mereka menjawab bersamaan.

"Ke rumah sakit."
"Ke Perumahan Lavender."

Ding.

Mereka saling bertemu pandang.

"Jadi?" tanya supir taxi itu lagi.

"Ke rumah sakit."

"Ke Perumahan Lavender," jawab keduanya, lagi.

"Bang, lo tuh harus ke rumah sakit. Kan lo lagi sakit," sahut Lina memprotes.

Berbeda dengan Adlan yang sudah memasang wajah tenangnya yang begitu kalem. Ia menghela napas.

"Enggak Lina. Kan gue udah bilang pengen pulang ke rumah. Ada hal penting yang mau gue sampein ke elo," tuturnya lembut.

Sementara Lina sudah cemberut. Ia mengalihkan pandangannya seraya berkata lirih, "Iya tapi kan bisa sambil ke rumah sakit. Emang sepenting apa sih penjelasan lo? Semuanya juga nggak ada yang bakal berubah."

Adlan yang memerhatikan Lina dari jarak dekat, bisa melihat jelas raut wajah Lina yang tengah merasa kesal bercampur sedih. Dan tanpa sadar, kini dirinya sudah menarik tubuh kembarannya itu ke dalam pelukannya.

"Maafin gue. Maaf karena udah ninggalin lo dan Mama tanpa penjelasan," lirihnya tertunduk sendu.

Lina pun tersentak, hatinya terenyuh saat merasakan betapa eratnya pelukan Adlan yang begitu hangat itu. Bukan hangat karena apa, tapi karena suhu badannya yang begitu tinggi karena demam.

"Udah ahh jelasinnya nanti aja! Badan lo panas banget, Bang. Kita ke rumah sakit ya." Otomatis, Lina pun melepas pelukannya.

Namun lagi-lagi dengan wajah sendunya Adlan meraih tangan Lina dan menolak sarannya secara halus. Dia menggeleng lemah. "Nggak perlu, gue cuma kurang tidur aja kok. Boleh kan gue tidur di rumah?"

Mendengar permintaan Adlan yang sangat melas itu, Lina pun menghela berat, terpaksa mengalah dan mengikuti kemauan kembarannya.

Adlan pun tersenyum. "Bu, kita ke Perumahan Lavender ya." Akhirnya Adlan memustuskan.

***

Setelah sampai di kediaman Yumna, Lina segera membaringkan tubuh Adlan ke atas ranjang kamar tidurnya. Ia pun bergegas menyiapkan obat dan air dingin untuk mengompres kembarannya yang sudah lemas itu.

"Tunggu Lin!" cegat Adlan sesaat setelah Lina selesai mengobatinya.

"Kenapa?" jawabnya bertanya.

"Kaki lo nggak lo obatin?"

"Udah nggak sakit," aku Lina singkat. Sementara Adlan semakin menggenggam tangan Lina erat.

"Kalo infeksi gimana?" Adlan menatap Lina cemas lalu memancarkan tatapan penuh harap kemudian. "Dan juga, temenin gue!"

Lina memalingkan bola matanya yang bergerak tak jelas. Ia berpikir, apa harusnya dia berada di sini dulu menemani kembarannya itu sampai ia terlelap?

"Ya-yaudah gue obatin. Gu-gue tungguin lo di sini bentar," jawabnya kemudian tanpa membalas tatapan lawan bicaranya. Ia pun kembali duduk di kursi samping ranjangnya.

Twin'kle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang