Chapter 7

106 20 16
                                    

Weekend akhirnya tiba. Surganya para pelajar untuk menghabiskan waktu selain di sekolah. Hari yang tepat untuk melepas penat. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku untuk seorang Adhyasta Prasaja. Seorang putra tunggal dari keluarga Prasaja yang termasuk dalam sepuluh keluarga terkaya dan ternama di Indonesia.

Meski hari libur sekalipun, Dhyas tak pernah benar-benar menikmati masa-masa itu. Karena banyak perkara yang harus ia lakukan di rumahnya. Pendidikan di sekolah saja tak cukup baginya, dia juga harus banyak mempelajari semua tentang dunia perbisnisan dan perihal perusahaan yang orang tuanya pimpin. Bukan hanya itu, dia juga harus membiasakan bersikap layaknya seorang konglomerat. Bagaimana tata cara bersikap dan bertindak dalam menghadapi client dan saingan bisnisnya nanti.

Karena Dhyas yang kelak akan mewarisi semua aset milik orang tuanya. Jadi sejak usia muda dia sudah di latih untuk terbiasa dengan hidup yang penuh dengan aturan.

Tak jarang juga dirinya harus mengahadiri rapat saham, meeting, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan perusahaan.

Sifat Dhyas benar-benar berbeda saat di sekolah dan berada di rumah. Di sekolah dia bisa sedikit merasakan kebebasan. Namun dirumahnya, dia seringkali merasa bosan dengan hidupnya yang penuh tekanan itu. Tapi dengan tangguh, seorang Dhyas berusaha menikmati semua itu.

Apalagi dia mempunyai seorang Ibu yang luar biasa hebat baginya. Meski Ayahnya begitu keras dan disiplin tapi Dhyas tak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Seperti saat ini, di waktu luangnya yang begitu singkat dan berharga, dia lebih sering menghabiskan waktu itu bersama Mama tercintanya, Maira.

"Ma, besok Dhyas bener-bener nggak ada jadwal bimbingan kan? Besok kantor juga libur, jadi Dhyas bisa bebas dong?" tanya Dhyas bernada antusias.

Dia tengah asyik bersender di pangkuan Mamanya sembari memaikan game di ponselnya.

"Memangnya kamu mau kemana? Kamu sudah punya temen baru disekolah?" jawab Maira berbalik tanya.

"Punya dong Ma. Aku kan orangnya tampan, ramah, tajir, baik hati dan tidak sombong. Jadi jelaslah banyak yang mau temenan sama aku," ungkapnya penuh rasa bangga. Padahal dalam hatinya dia merasa miris telah berbohong seperti itu.

Teman? Sahabat? Dhyas tidak pernah benar-benar mempunyai seseorang yang seperti itu. Selain Adlan yang bisa menyesuaikan dan mengerti semua kegiatan yang Dhyas lakukan, tak ada lagi temannya yang benar-benar tahu bagaimana kerasnya kehidupan seorang Dhyas yang terkenal tengil di kalangan orang-orang yang mengenalnya.

Tapi Maira tahu, dia mengerti betul bagaimana sifat dan kehidupan anak lelaki semata wayangnya itu. Bahkan saat ini dia juga tahu bahwa Dhyas tengah berbohong.

"Dhyas, maafin Mama sama Papa ya Nak. Karena kami sudah banyak menyita waktu masa mudamu," ucap Maira dengan suara parau, tiba-tiba saja menitikkan air mata.

Dhyas seketika bangkit, dia menatap mata Mamanya penuh rasa cemas. "Ma, Mama ngomong apa sih? Koq tiba-tiba jadi melow gini? Ssst sstt, udah udah."

Dhyas mencoba menenangkan Mamanya, dia menghapus air mata Mamanya serta memeluknya penuh rasa penyesalan. Apa dia sudah salah ucap sampai Mamanya menangis seperti itu? Begitu pikirnya.

Layaknya tengah menghibur anak kecil, sikap Dhyas sudah berubah menjadi sosok orang dewasa dengan cepat.

Maira akhirnya melepas pelukan Dhyas, dia usap sendiri sisa air mata yang masih membasahi pipinya.

"Tuh kan make up Mama jadi luntur. Ntar kalo Papa bilang Mama jelek gimana?" canda Dhyas menggoda Maira.

Dan tentu saja hal itu berhasil membuat Maira kembali memasang tawanya. "Kamu bisa aja."

Twin'kle LoveWhere stories live. Discover now