11. Hikmah

3K 132 7
                                    

~ Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah tertulis di Lauhil Mahfudz ~

_Ayna_

Rasa lelah menyelimuti Ayna dan teman-temannya. Sore itu jalanan menuju Kampus Biru tempat Iqbal kuliah padat merayap. Ternyata kondisinya tidak jauh berbeda dengan jalanan ibu kota. Kepadatan kendaraan dan pembangunan yang semakin marak menunjukkan banyaknya orang yang ingin tinggal atau singgah di kota wisata ini.

Taksi online yang mereka tumpangi terus meluncur, tidak ada pembicaraan di antara mereka sepanjang perjalanan ke sana. Semua sedang menghemat energi menanti petualangan jiwa dan hati mereka selanjutnya. Ayna menatap sahabat-sahabatnya satu persatu di dalam mobil. Reka dan Lusi ada di kursi belakang. Ayna dan Mai duduk di tengah. Semua terlarut dalam pikiran masing-masing. Ayna membuka suara memecah keheningan yang telah lama tercipta, “Kak Iqbal nanti nunggu kita di mana katanya?”

“Di Masjid Kampus, Ay. Kak Iqbal masih otw dari rumah sakit,” jawab Reika.

“Kak Iqbal itu udah kerja juga, ya di rumah sakit?” tanya Mai.

“Belum. Dokter residen kayak Kak Iqbal itu walaupun kerja praktik sampai jungkir balik juga enggak akan dibayar. Yang ada malah bayar, mana biayanya gede banget loh, pantas aja biaya berobat ke dokter spesialis itu enggak murah. Lha wong biaya pendidikannya aja tinggi. Hitung-hitung bisa langsung balik modal kalau sudah bisa kerja nanti,” imbuh Reika.

“Itu biaya dari orang tuamu semua?” tanya Lusi.

“Sebagian besar iya. Tapi Kak Iqbal juga nyambi kerja, kok, haha .... Kalian pasti enggak percaya, deh, kalau aku kasih tahu apa kerja sampingan kakakku yang satu itu.”

“Memangnya apa?” tanya Mai.

“Kak Iqbal jualan gamis!” kata Reika.

What?” kata Ayna, Mai, dan Lusi hampir bersamaan. Mereka menatap Reika yang sedang tertawa terkekeh sambil menutupi mulutnya.

“Serius, Rei?” kata Ayna yang matanya membulat tidak percaya.

“Iyaaa ... hahaha ...!” Reika kembali tertawa.

“Kok bisa ya? Memang Kak Iqbal tahu selera cewek?” tanya Ayna lagi penasaran.

“Tanya saja sendiri nanti, dia pasti senang ditanya-tanya sama kamu,” jawab Reka dengan senyum yang lebar.

“Eh, memangnya Kak Iqbal ada hati sama Ayna? Yah ... alamat patah hati aku, hiks,” ujar Mai pura-pura sedih.

Lalu mereka kembali tertawa bersama. Ayna tidak lanjut ingin mendengar penjelasan Reka tentang perasaan kakaknya. Hatinya masih belum sembuh, lukanya baru saja mulai mengering. Dia belum mau membuka hatinya pada siapa pun.

Sampailah mereka di universitas bersejarah di kota Yogyakarta. Luasnya kurang lebih sama dengan kampus mereka di Depok, hanya tidak ada bus kampus yang keliling dan tidak ada hutan seluas Kampus Kuning. Setelah memutari kampus satu kali dengan mobil, dan puas mengomentari setiap bangunan yang mereka lihat, sampailah mereka di Masjid Kampus Biru. Mereka sangat takjub dengan kemegahan Masjid yang dinobatkan menjadi Masjid Kampus Terbesar se-Asia Tenggara itu.

AYNA (Jodoh Sahabatku)Where stories live. Discover now