32: Exposed!

26.8K 2.8K 329
                                    

Dua minggu pasca kecelakaan, akhirnya dokter memperbolehkan Jennie untuk keluar dari rumah sakit. Meskipun kaki kirinya masih dibalut oleh gips, tetapi saat ini dirinya sudah bisa berjalan perlahan-lahan.

Jongin masih terus menuntunnya sejak Jennie melangkah keluar dari mobil hingga kini keduanya sudah berada di dalam kediamannya.

"Aku sudah bilang, kau tak perlu terus-terusan menuntunku."

Seutas senyum terpantul pada wajah Jongin. "Benarkah? Tapi mengapa kau seperti engan melepaskan genggaman tanganku?"

"Baiklah, akan ku lepaskan."

Namun saat Jennie melepaskan genggaman tangannya pada Jongin, tubuhnya jadi kehilangan keseimbangan hingga mau tak mau Jongin harus kembali merengkuh pinggangnya agar tidak terjatuh. Pada akhirnya, tubuh Jennie jatuh menimpa dada Jongin yang bidang.

"Sudah ku bilang kan, kau tak akan bisa lepas dariku."

Semburat merah mulai terlihat dikedua pipi Jennie, matanya kini mulai menghindari tatapan Jongin yang menatapnya dalam.

"Kenapa kau seyakin itu sih... bukannya kau yang tak mau melepaskan aku?"

Jennie hanya bisa terdiam saat Jongin tiba-tiba mendekapnya kedalam peluknya. Kedua mata Jennie terpejam, merasakan detak jantung Jongin yang dia harapkan berdetak untuknya.

"Kau ingat perkataanmu padaku dulu? Dimalam setelah acara makan malam keluarga kita?"

Jennie kini mengangkat wajahnya untuk menatap Jongin lekat, menantinya menyelesaikan perkataannya.

Jongin menahan nafasnya untuk sesaat, disibaknya rambut Jennie dan diselipkan ke balik telinganya. Matanya masih memandang setiap inchi bagian wajah istrinya itu, mengaguminya dalam diam, hal yang selalu dirinya lakukan sedari dulu. Tapi kali ini, Jongin tidak akan menyianyiakan waktunya lagi. Kim Jongin tidak ingin menjadi manusia bodoh lagi.

"Kau pernah berucap, jika aku mencintaimu, mungkin aku tidak akan—"

Belum selesai Jongin menyelesaikan perkataannya, Jennie sudah berdiri dengan tegap kembali. Kedua tangannya menutupi mulutnya, entah mengapa perutnya tiba-tiba saja terasa begitu mual, dengan langkah yang susah payah Jennie terus melangkah berjalan ke kamar mandi ditemani Jongin yang dengan sigap membantu untuk memapahnya berjalan.

Segala isi perut dan bekas sarapannya pagi ini termuntahkan begitu saja. Tanpa rasa jijik sedikit pun, Jongin masih terus menemani Jennie, menepuk-nepuk punggungnya dan sesekali mengelusnya lembut.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Jongin yang mulai sedikit khawatir karena wajah Jennie tiba-tiba saja berubah pucat. "Kau mau aku panggilkan dokter? Apa kepalamu sakit?"

Jennie menekan tombol flush setelah mengeluarkan semua isi perutnya kemudian menggeleng menjawab rentetan pertanyaan Jongin.

"Entah lah, aku hanya tiba-tiba saja merasa mual. Memang sih kepalaku agak sedikit pusing." Jennie berucap singkat, tangannya kini berusaha menjangkau sebuah lemari gantung yang terletak di atas kepalanya untuk mengambil sebotol mouthwash.

Jennie terpaku saat melihat sekotak pembalut di dalam lemari yang bulan ini belum tersentuh sama sekali olehnya. Otaknya mulai berfikir cepat, sedikit panik, menghitung segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi.

Jennie memutar tubuhnya untuk memandang Jongin yang kini menatap Jennie dengan wajah yang bingung.

"When was the last time we had sex?"

"Why do you ask? Are you asking me to do you right now?" Senyuman jahil muncul dari wajah Jongin. "Fine, come to me baby."

Suasana hati Jennie yang tadinya tegang seketika mencair karena reaksi yang diberikan oleh Jongin malahan membuatnya tertawa.

Metanoia • KAI x JENNIE •Where stories live. Discover now