Abak belum tidur, ia hanya memejamkan mata sehingga bisa mendengar penjelasan teman sekelas anaknya. Sedangkan Ama tertegun, begitu memprihatinkan nasib gadis manis yang selama ini ia jaga. Lelaki tadi menunduk, takut jika ada yang membantah ataupun malu menatap kedua orangtua Aery. Begitu juga dengan yang lain, mereka saling merapat.

"Lihat, jarinya bergerak," teriak salah satu dari mereka. Semua yang memenuhi ruangan itu berharap agar Aery siuman. Ini bukan waktunya untuk bersenang-senang di alam mimpi, bangun dan lihatlah bagaimana cahaya lampu menusuk kornea matanya lagi.

Abak bangkit, ia mendekat dan berdiri di samping istrinya sambil menggenggam tangan lembut milik Ama. Hari ini udara begitu dingin, ditambah lagi dengan adanya AC. Dingin makin menusuk kulit hingga ke tulang dan membuatnya bergetar. Hari ini sering kali turun hujan, menurut beberapa orang bahwa di bulan yang berakhiran ember maka hujan suka datang membasahi bumi, melembabkan isinya.

Perlahan Aery membuka kelopak matanya, semua orang memperhatikan bahkan ada diantara mereka yang terlalu mencondongkan badan ke arah Aery. Gadis yang tengah berbaring itu, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk menembus retina.

Tangannya bergerak menuju kepala yang terperban, sedikit menekan pada bagian yang terdapat luka dan meringis kesakitan. Merasa asing dengan suasana ini, ia melirik ke segala arah. Tidak sama seperti kamarnya, dan penuh heran Aery bertanya pada dirinya sendiri dimana ini.

Melihat banyak orang yang ada di sekitarnya, membuat Aery kaget terutama kedatangan teman sekelasnya. Ini sungguh tak pernah terpikirkan oleh gadis itu, benarkah mereka mau datang ke sini. Menemuinya?

"Ai akhirnya kamu sadar nak," suara Ama bergetar dan tak lama disusul oleh air mata.

Aery menatap datar ibunya.

"Ai, hmmm. Kamu tidurnya kenapa kelamaan? Abak khawatir," matanya tampak berlinang dan memerah karena kurang tidur.

Aery hanya diam saja, kali ini tatapannya begitu dalam. Tentu tamparan kala itu masih terngiang-ngiang di pikirannya bahkan sakitnya juga masih terbayang dengan sangat jelas.

"Hai," sapa lelaki berkacamata dengan bibirnya yang merah. Bukan karena lipstick tapi memang sudah dasarnya begitu. Dia putih dan tidak terlalu jangkung tapi lebih tinggi dari Aery. Ketua kelas, itu jabatan yang ia sandang tahun ini.

Aery menoleh ke sisi kirinya, tampak wajah-wajah yang tak sepenuhnya dikenali. Mungkin selama ini Aery tidak terlalu memperhatikan siapa saja teman sekelasnya. Kali ini juga tidak ada senyuman, mereka semua membuang napas percuma. Benar saja, gadis ini memang tak pernah menganggap mereka.

Merasa mengganggu saja, semua yang memakai seragam putih abu-abu bergeser sedikit demi sedikit untuk mencapai pintu keluar. "Apa kalian datang untuk pergi secepat ini?" ujar Aery mencoba untuk menyandarkan tubuhnya ke ujung ranjang.

Mereka memandang gadis itu, saling menatap sebelum akhirnya menggeleng secara serempak. "Gaklah. Hmm, jika kami mengganggu sebaiknya kami pe-"

"Makasih ya udah datang ke sini," potong Aery. Mereka mencari kebenaran di mata gadis itu, ternyata sosok Aery tidak sedingin yang dikira.

Si ketua kelas menjauh dari kerumunan, ia mendekati Aery dan di susul oleh yang lain. "Baiklah, bisa jelasin gimana kelas tanpa gue?" tanya Aery sambil menatap langit-langit kamar.

"Entahlah, rasanya ada yang kurang. Kami rindu lo es batu."

Seseorang tertawa, lalu di susul yang lainnya. Mereka menceritakan semua yang terjadi saat Aery tidak masuk sekolah. Mulai dari cerita pak Anton yang salah mengenakan pakaian, mungkin ia terlalu sibuk jadi ia hanya memakai kaus oblong berwarna putih. Di padukan dengan celana dasar dengan kedua ujungnya terlipat tak beraturan. Juga tentang marahnya guru yang mengajar kimia, waktu itu ia menerangkan panjang lebar rumus-rumus yang sama sekali tak diperhatikan oleh murid yang ada di kelas Aery.

IMPOSSIBLE [Completed]Where stories live. Discover now