25

746 42 8
                                    

Vote dan komennya jangan lupa ya readers, terimakasih.

"Jangan takut! Ada gue di sini," ucap Alwan lembut.

"Kenapa lo kek gini lagi?" gumam Alwan dalam hati.

Aery mendongak melihat wajah Alwan yang berada di atasnya, mata indah itu seakan menjadi bius untuk Aery dan membuatnya sedikit lebih tenang walau siluet tentang kejadian suram yang telah lampau masih tersimpan rapat di memori otaknya.

Lupa? Terlalu cepat untuk menghempas peristiwa kelam yang menjadi bekas di batinnya, karena pada dasarnya melupakan tidak semudah mengerdipkan kelopak mata.

"Bawa dia pergi dari sini! Mungkin dengan itu dia bisa tenang," ucap teman Ega nyaris tanpa suara.

Alwan mengangguk, tangannya bergerak ke bahu Aery dan merapatkan gadis itu ke dada bidangnya. Semua orang memberikan mereka jalan untuk lewat, ada yang menyeringai, atau sekedar mengatakan, " Yahh, " karena kehilangan pertunjukan gratis.

Mulut gadis itu bergetar dan selalu saja berucap, "Jangan! "

Ia mengatakan satu kalimat tersebut berulang kali, bola matanya berputar 45 derajat. Tubuhnya menggigil seakan sedang berada di kutub saja, tangannya terkulai kaku di bawah.

Ega keluar dari ruangan dengan wajah masam, baju seragam yang sobek, berdarah, kusut, dan membuatnya seperti gelandangan. Sesuatu bergetar di saku celana, tangannya dengan kasar menyusup masuk ke dalam saku untuk mengambil ponsel. Di layar tertera 2 kali panggilan tak terjawab dari temannya yang berada di sekolah.

Ega menelpon balik, kakinya melangkah menjauh dari ruangan menuju toilet karena kebetulan ia ingin membersihkan bercak darah yang melekat pada baju sekalian ingin mencuci wajahnya yang tampak berminyak. Kini giliran teman Ega yang masuk ke dalam untuk menjaga serta menemani rekannya yang tengah berbaring di atas ranjang.

Banyak orang yang berlalu lalang di rumah sakit saat ini, berbagai macam keluhan dan penyakit berusaha di sembuhkan di tempat ini. Sekarang pengaruh makanan berzat kimia telah membabi buta dalam kehidupan sehari-hari, bahkan yang alami sulit untuk di temukan. Orang-orang biasa menyebut hal itu dengan micin, generasi micin, oh sungguh jaman yang edan.

Dua pasang sepatu berwarna biru dan putih menginjak marmer rumah sakit dengan tidak serentak. Mereka semakin dekat dengan pintu masuk sekaligus sebagai pintu keluar, seorang wanita dengan pakaian hijau dengan rambut ikal di kuncir menghentikan langkah sepasang ciptaan Tuhan itu.

"Ada apa dengan adikmu?" tanyanya yang menganggap kalau mereka berdua bersaudara.

Alwan hanya tersenyum, "Adikku sedang tidak enak badan Ande."

Wanita itu membalas senyuman Alwan, tangannya mengelus rambut Aery lalu pergi ke arah lain sambil menjenjeng kotak putih. Sesampainya di tempat parkir, Alwan memakaikan helmnya kepada Aery agar gadis itu aman.

Mereka pergi dari gedung rumah sakit dan membaur ke jalan yang kebanyakan di penuhi oleh kendaraan roda dua. Aery menatap jalan yang ia lewati, bangunan, pedagang kaki lima yang menjejerkan barangnya di pinggir jalan, rumah dengan bentuk yang bervariasi, toko dan masih banyak lagi.

Udara berhembus menampar wajahnya yang datar tanpa ekspresi, ia sudah tenang bahkan sangat tenang karena sejak kepergian mereka dari rumah sakit Aery tidak lagi menjerit atau mengucapkan kata 'Jangan'

Suasana hatinya mudah saja berubah seperti seorang yang tengah mengidap gangguan Bipolar saja. Alwan hanya lurus saja ketika seharusnya ia berbelok saat di persimpangan sebelumnya agar sampai ke sekolah.

"Lo istirahat di rumah aja ya, gak usah balik ke sekolah," ucap Alwan cemas.

Aery tampak terkejut, ia hanya diam saja tidak membalas ucapan Alwan barusan. Terserah! Mungkin saat ini Aery juga tidak berniat untuk kembali ke sekolah, ia tidak ingin mendengar omelan guru yang mengajar, atau berusaha untuk tidak mendengar bisikan-bisikan sinis yang di tujukan kepadanya.

IMPOSSIBLE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang