Bab 25

4.8K 280 9
                                    

Sudah bertahun-tahun hidup di kota besar seperti Jakarta. Bertahun-tahun juga Iren telah menggunakan trotoar sebagai jalur ia sukai untuk bepergian. Dan baru kali ini trotoar menyimpan kenangan indah tentang hidupnya. Setiap Iren melewati trotar itu. Ia selalu senyum-senyum sendiri. Bahwa, dirinya pernah dilamar secara langsung oleh pria yang ia cintai.

Tidak disangka lamaran mendadak itu memberikan efek baik pada diri Iren. Setiap hari-hari yang ia lalui setelah itu terasa lebih berwarna, bahagia dan manis. Walau masalah  selalu saja berdatangan, Iren masih bisa tersenyum. Karena kali ini ada kekasih yang selalu mendampinginya, memberikan dukungan serta perhatian besar.

Tidak hanya pagi tadi, hingga siang ini Iren masih saja tersenyum-senyum sendiri di meja kerjanya yang baru. Hal itu tidak sengaja di temukan oleh Jane. Memang pintu keluar dari ruangannya terhubung langsung dengan ruangan kerja Iren.

"Ehemm ... Kayaknya ada yang lagi bahagia nih, sampai pangilan aku di abaikan."

Iren terperanjat kaget dengan suara Jane. Masa bodo dengan ponselnya yang terjatuh kelantai. Ia bersegera berdiri dari kursinya dengan tampang bersalah

"B-bu Jane, maaf. Tadi ibu manggil aku? Aku gak dengar bu, sekali lagi maaf," ucapnya takut sambil menundukan kepala.

Jane menahan senyum. Berjalan mendekati Iren. Lalu melihat ke bawah lantai dimana ponsel Iren tercecer begitu saja. Iren langsung berkeringat dingin. Karena kegiatannya telah ketahuan oleh big bos. Memang sudah peraturan selama bekerja dilarang menggunakan waktu untuk bermain dengan ponsel kecuali darurat.

"Kamu lagi hubungi siapa, Ren. Itu ponsel kamu nyala, sepertinya ada notif masuk."

Iren menggigit bibir bawahnya. Dan ikut melihat ke ponsel. Benar, layarnya kembali menyala. Itu pesan dari Malik yang ingin mengajaknya pergi nanti sore.

"Kamu kok tegang gitu sih, ambil tuh ponselnya," ujar Jane mengambil duduk di salah satu kursi disana.

Iren mangguk dan mulai memungut ponsel itu dan kembali duduk di kursinya. Ia kembali memandang Jane. Yang saat ini juga sedang memperhatikannya.

"Kenapa diam? Kok gak di baca pesannya."

"Ah, nanti aja, Bu. Setelah jam istirahat."

Jane menghela nafas jengah dengan jawaban Iren.
"Bener gak mau baca, mana tau penting lagi."

Iren sedikit bingung dengan tingkah Jane. Harusnya ia marah setelah menemukan dirinya telah mengabaikan peraturan kantor. Tapi, Ini malah sebaliknya.

"Iya, Bu. Gak papa nanti aja."

Jane menatapnya intens, "Belakangan ini kamu terlihat berbeda, Ren. Apa yang terjadi."

Iren kikuk, "Hehe, gak ada apa-apa, Bu."

"Masa?"

Ting ting

Bunyi nada pesan dari ponsel Iren. Mengundang mereka untuk kembali menatap pada layar persegi itu.

Jane terkejut ketika sempat membaca nama si pengirim.

"Calon Imamku?" ucapnya memandang Iren," Kamu mau nikah?" tanyanya tidak percaya. Hal itu membuat Iren malu.

"Masih rencana, Bu!"

"Sama siapa? Apa lelaki yang sering antar jemput kamu itu." ungkapnya antusias di terima anggukan Iren. "Wah, kabar baik nih, anak-anak mesti tau kalau sebentar lagi kamu udah mau merit, Ren!"

Jane hendak berdiri dari sana untuk mengabari berita bahagia ini. Namun, Cepat di cegah oleh Iren.

"Jangan Kakak! jangan sekarang, ini kan belom jelas kapan acaranya, aku hanya baru di lamar, belom nentuin kapan nikahnya kok," ungkap Iren panik.

Perahu Cinta Irenia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang