Bab 19

3.7K 277 12
                                    

Dua hari dirundung pilu, Iren mengurung diri di kamar. Dua hari juga pria yang ia tunggu-tunggu tidak pernah menunjukan batang hidungnya. Bahkan mengirim pesan singkat seperti biasa pun tidak.

Iren bangkit dari tidurnya. Mengambil duduk di ujung kasur. Dari sana ia melihat jam di dinding, yang masih menujukan pukul 2 siang. Setelah itu ia meraih ponsel dinakas.

Ia mendesah melihat semua pesan yang ia kirim untuk Malik sama sekali tidak di read. Pesan dari dua hari lalu pun juga sama nasibnya. Iren mendengus kesel. Ia melempar ponselnya kesembarang arah. Mengusap-ngusap seluruh wajahnya yang masih sembab itu akibat menangis semalaman suntuk.

Baru kali ini ia merasakan sedih yang berkepanjangan. Baru kali ini juga ia merasakan kekecewaan yang amat berat. Hanya Malik yang bisa membuatnya seperti ini. Iya, hanya pria itu saja. Dia benar tak sanggup bila jauh darinya.

"Malik? kamu di mana sih, kenapa semua pesan-pesan aku gak dibales, ditelfonpun gak kamu angkat, segitunya kamu marah sama aku!"

Iren menarik nafas panjang. Lalu dihembuskan keluar. Pikirannya benar-benar kacau tanpa pria itu. Kini Iren sedang memandang sesuatu di atas nakas. Sebuah pot kaca berisikan setangkai bunga mawar putih yang cantik. Tepat di belakang pot bunga itu. Ada lukisan berbingkai cantik, sudah tergantung rapi di dinding. Dua barang yang memiliki beberapa kenangan bersama pria itu.

Iren berjalan ke sana. Memandang lukisan wajah pria berkaca mata yang sedang tersenyum ke arahnya. Di samping pria itu lukisan dirinya sendiri. Sekelebat bayangan ketika dia bersama Malik muncul dengan sendirinya.

"Lik, aku kangen kamu, kenapa sih kamu main pergi-pergi aja, gak mau dengar penjelasan aku dulu, kamu itu cuma salah faham tau gak! Harusnya ... Ha-harusnya kamu lebih berani lagi untuk perjuangin aku."

Iren mengigit bibir bawahnya. Tatapannya masih pada lukisan pria berkaca mata itu.

"Apa harus aku yang turun tangan untuk memperjuangkan cinta kita, tapi ... Aku ...."

Iren menghembuskan nafas dalam. Ia terlihat kebingungan. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dan berselonjor di lantai begitu saja.

"Tapi aku gak tau harus gimana, Apa yang harus aku lakukan?"

Iren terlihat berpikir keras. Kedua lututnya di tekuk hingga menjadi tumpuan kepala. Lama ia berpikir dan muncul sebuah ide di kepalanya.

"Apa aku samperin dia di toko aja kali, ya?"

Iren tersenyum lebar dengan ide itu. Ia langsung berdiri dari sana. Sebelum itu Iren memandang dirinya di depan cermin. Sweater oblong berwarna kuning dan celana jeans pendek. Dia memutar tubuhnya di sana. Pakain yang tidak terlalu jelek. Imbuhnya! Ia berniat menggunakan itu untuk menemui Malik hari ini.

Serasa sudah lengkap barang-barang yang ingin ia bawa. Iren melanjutkan langkahnya keluar kamar. Menuruni anak tangga dan langsung menuju bagasi mobil. Tanpa minta izin pada nyonya  besar terlebih dahulu. Iren sudah tancap gas hingga keluar dari pagar besi rumah.

Di dalam mobil Iren kembali dirundung masalah. Ia bingung dengan kalimat yang akan ia ucapkan pada Malik. Sedari tadi otaknya dipaksa berpikir untuk itu.

"Aduh. Bilang apa ya?"

Iren berdehem sebelum bibirnya mengeluarkan kata-kata.
"Hmm, Malik. Aku ke sini untuk kasih tau bahwa aku juga suka kamu."

"Aduh, bukan bukan ... Hemm,  Malik, lagi apa, maaf ya ganggu, aku mau bilang kalau selama ini aku juga punya rasa."

Seketika kaliamat itu sudah terucap dari bibirnya. Iren berteriak jijik. Ia memukul-mukul kepala gemes dengan satu tangan. Satu tanganya lagi di gunakan untuk menahan stir mobil.

Perahu Cinta Irenia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang