Bab 22

4.3K 283 18
                                    

"Akankah, perahu cinta ini akan terus berlayar tanpa tujuan?"

.

...................->

Patah hati, mungkin kata itu sudah umum bagi setiap manusia yang pernah merasakan cinta. Tetapi, patah hati yang berulang kali. Tidak semua manusia mengalaminya.

Apalagi merindukan seseorang yang sudah jelas tidak merindukan kita. Bagai memeluk angin yang tidak berwujut. 

Tidak hanya hati yang terasa sakit. Seluruh tubuh Iren juga ikut-ikutan sakit.  Kota panas seperti Jakarta saja serasa di puncak baginya saat ini. Bisa dilakukan hanya diam berbaring di atas kasur. Dan Sembunyi di balik selimut tebal.

"Ren?"

Sayup-sayup namanya dipangil oleh seseorang. Iren membuka kelopak matanya perlahan.

"Mmm."

Jingga tengah duduk di sampingnya dengan tersenyum lembut. Memandang wajah pucat Irenia membuat ia terenyuh. Sungguh keadaanya memprihatinkan. Apa patah hati sesakit itu? Sampai adik iparnya tampak tidak berdaya sama sekali. Ia menghela nafas singkat.

"Makan dulu yuk, habis itu minum obat."

Iren mangguk, ia mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang lurus. Lalu dengan susah payah ia menyandarkan tubuhnya ke belakang.

Jingga membantu menaikan bantal di punggung Iren. Rasa iba membuat ia tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata apalagi pertanyaan.

"Gue suapain, ya?" ucapnya di terima anggukan Iren.
Satu sendok bubur sudah masuk kedalam mulutnya.
"Enak gak?"

"Enak, lo yang bikin?" tanyanya dengan suara serak. Jingga hanya mangguk sebagai jawaban. Lanjut Mengulang kegiatan itu beberapa kali.

Di serang demam tiga hari, sudah membuat tubuhnya terasa begitu remuk. Susah payah Iren menelan makanan lembut itu hingga masuk ke lambungnya. Iren memperhatikan Jingga yang saat ini juga memperhatikannya. Tersirat wajah iba di wajah bumil itu.

"Jingga? Maaf ya kemaren itu gue membentak-bentak lo."

Disana Jingga mengulas senyum.
"Gue gak marah kok, gue faham dengan kedaan lo, Ren."

Jingga memperbaiki duduknya yang terasa tidak nyaman. Meletakan kembali sendok itu diatas piring, setelah memberi suapan berikutnya pada Iren.
"Gue berharap, dari kejadian kemaren lo akan baik-baik aja, gue gak suka liat lo nangis terus, liat kondisi lo sekarang, kita semua kuatirin lo, Ren. mama juga ikutan sakit mikirin anaknya."

Iren termenung mendengar ucapan Jingga. Dia sadar apa yang ia lakukan berefek buruk bagi keluarganya juga.

Lagi-lagi wajah Malik muncul begitu saja diingatanya. Jangan di tanya kalau ia sudah melupakan pria itu. Jawabannya, jelas tidak dan tidak semudah itu. Baru beberapa hari kemarin mereka masih mengobrol dan ketawa bersama. Membuat Iren masih sulit untuk menerima, mencerna, mengerti. Bahkan, masih terasa mimpi. Perubahan begitu sangat cepat terjadi. Masalah menimpanya datang dengan waktu yang bersamaan. Itu sungguh menyakitkan.

"Jingga?" Iren memandang Jingga sedih."apa gue bisa melupakan itu semua dengan cepat? Rasanya masih begitu menusuk di hati gue."

Iren memegang dadanya yang masih terasa ngilu. Ia menghembuskan nafas panjang. Seraya memejamkan mata sekilas. "Gue tau ini ngak berguna, tangisin orang yang sudah jelas gak mikirin gue, dan mungkin gue emang terlihat sangat bodoh untuk itu. Tapi, salah kalau gue kayak gini? gue pernah berpikir kalau selama ini gue hanya jadi korban perhatian, ketika gue di sanjung-sanjung, disayang-sayang, dan hati gue udah luluh,  lalu di tinggal pergi begitu aja dengan alasan yang sama sekali gue gak faham, dan seolah-olah gue yang paling jahat di sini."

Perahu Cinta Irenia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang