Bab 11

4.2K 278 7
                                    

"Jika hati bisa lebih lantang untuk mengatakan, kepada siapa dia melabuhkan perasaan yang terasa aneh ini, mungkin putaran waktu tidak akan terasa lama."

.............................

Lama menunggu. Iren sudah tidak sabar dan ingin mencari ke sana. Hendak bangun dari duduk. Sebelum berdiri sempurna. Pria berkaca mata itu sudah jalan ke arahnya. Irenia kembali duduk dengan lega.

"Malik? Kok lama sih, kamu gak papa?"

Malik menunjukan senyum tipisnya, "Gak papa, Ren. Tadi di dalam agak antri, soalnya ada beberapa toilet yang rusak," Ujarnya kembali duduk di kursi.

Iren diam tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Ia merasa apa yang di katakan Malik itu hanya sebuah alasan.

"Teman kamu udah balik?"

"Udah, tadi sebelum pergi mereka titip salam buat kamu, Lik!"

Malik hanya meangguk ria mendengar tuturan Iren.

"Kamu gak papa?"

"Maksdunya?"

"Ah, maksud aku," Iren berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "Kamu marah? Karna ke datangan mereka," tanyanya memandang Malik lekat.

Malik kembali tersenyum padanya, "Untuk apa aku marah, mereka teman-teman kamu 'kan."

Iren kembali gelisah. Entah kenapa, senyum kali ini dari Malik terasa sedikit berbeda. Tidak seperti biasa. Senyum yang hangat dan nyaman hingga ke hatinya.

"Terus, tentang pembicaraan kita yang terpotong tadi, memangnya apa yang ingin kamu katakan?"

"Oh, itu," Malik kembali tersenyum singkat, "Lupain aja, aku juga dah lupa mau bicara apa, juga gak terlalu penting kok. Ren!"

Iren terdiam. Memandang Malik dari samping. Dia tahu ada sesuatu yang di sembunyikan oleh pria itu. Dari senyum terpaksanya sangat terlihat kalau Malik kecewa. Juga tidak ada hak baginya memaksa dia untuk mengutarakan.

"Ooh, gitu ya!"

Kini giliran Malik yang memperhatikan Iren dari samping. Untuk melanjutkan pembicaran itu tidak ada gunanya. Toh, Iren juga akan menolak atas pengakuan itu.

"Mungkin, jadi teman seperti ini lebih baik!" batin Malik.

Secara tiba-tiba mereka saling pandang, dan cukup lama. Seolah apa yang mereka pikirkan itu sama. Secara bersamaan juga mereka merasakan aura panas menjalar di sekujur tubuh.

"Aku gak tau persis apa yang kamu pikirin, Entah kenapa hati aku merasa sedih, melihat ekpresi wajah kamu begitu, kalau boleh jujur, aku sangat senang seharian ini bersama kamu, Malik," batin Iren.
.
.
.
Perjalanan menuju pulang. Suasana yang tidak seperti tadi siang. Ceria dan penuh banyak cerita di antara mereka. Tapi, kini tidak satupun yang ingin memulai pembicaraan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tidak sekalipun Iren melirik pada pria di sampingnya. Pandangannya jatuh ke luar jendela. Bukan karena tubuhnya saja yang kelelahan. Hati pun juga ikut terasa lelah. Saking lelahnya untuk bicara pun terasa tidak sanggup. Entah! Iren sendiri tidak begitu faham. Kenapa dirinya seperti ini.

Di sisi lain, keadaan Malik tidak jauh beda dari apa yang dirasakan Iren. Semangatnya menghilang karena perasaannya yang belum bisa terungkap. Memendam kembali rasa itu, seakan menguras sebagian dari tenaga di dalam tubuhnya.

Sekitar 35 menit mobil Malik tiba di depan rumah Iren. hendak memasuki gerbang. Namun, di cegahnya,
"Di sini aja, Lik. Udah terlalu malam untuk kamu pulang, terima kasih, ya. Untuk hari ini."

"Iya, Ren. Terima kasih juga udah mau jalan sama aku, maaf ya, kalau kurang menyenangkan."

Iren memandang Malik sejenak. Lalu kembali dialihkan ke arah lain. Entah kenapa, jawaban Malik membuat hatinya sedikit terkenyut. Kembali membuat tubuhnya menjadi lemas.

"Iya, aku masuk dulu, hati-hati di jalan, Malik!" Iren mencoba memandang pria itu lagi. Yang juga sedang tersenyum ke arahnya.

Tanpa pikir lama. Iren mulai turun dari mobil dan melangkah masuk ke balik pagar besi itu. Tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, atau hanya sekedar memberi lambaian perpisahan seperti biasa. Hingga dirinya menghilang ke dalam rumah.

Di dalam mobil. Malik menghempaskan tubuhnya kebelakang. Ia menghembuskan nafas panjang. Dan menatap nanar kepergian Iren. Rasa sesal menghampiri dirinya saat ini. Menyesal tidak bisa menjadi pria yang gentel di depan Iren. Ia tahu kalau wanita itu kecewa dengan sikapnya. Karna kecemburuan membuat dirinya tidak bisa menjadi seorang yang dewasa.

"Maaf!" gumamnya.
.
.
.
Di kamar, diujung kasur. Iren membuka gulungan kertas putih yang berisi lukisan wajahnya dan Malik. Ketika itu teringat kembali kejadian yang mereka alami. Kecanggungan dan grogi, badan terasa panas dingin hingga perasaan aneh lainnya. Yang terasa mengklitik jantung hati dan begitu membahagiakan.

Perasaan yang jusru membuat dia tersenyum-senyum sendiri. Tetapi! Bayangan sikap Malik direstoran membuat senyum itu kembali lenyap.

Iren menarik nafas panjang dan merebahkan tubuhnya kebelakang.

"Kenapa dengan diriku, Yaa Tuhan!" Kedua tanganya menekan bagian dada yang terasa pilu, sambil memejamkan kedua mata, "Kenapa dengan perasaan ini? Apa maksud dari ini semua? Aku benar gak faham!"

Tanpa sadar dan tanpa di minta. Ingatan demi ingatan tentang Malik, muncul begitu saja di benaknya. Sikap lembutnya, senyumnya, tatapannya, yang selalu membuat hati seorang Irenia terasa sesak.

"Kenapa dengan dia? Kenapa aku sangat merinduinya? Ini sungguh perasaan yang salah, ini tidak boleh terjadi!"

Iren menduduki tubuhnya kembali. Ia mengusap keseluruhan wajah dengan kedua tangan. Untuk terakhir kalinya ia menarik nafas panjang dan menghembuskan kasar. Dirinya benar-benar bingung sekarang.
.
.
.

Gimana-gimana dengan part ini gengs, dapat gak filnya?

Ada yang penasaran dengan kelanjutannya?

Perahu Cinta Irenia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang