Kasih Tak Sampai

2.1K 210 9
                                    

"Mana ada persahabatan lawan jenis yang murni, kecuali salah satunya memiliki kelainan seksual dan gue masih normal"


Kalimat itu yang terlontar oleh Lin beberapa waktu lalu, saat Lin berusaha mencium bibir Nana. Lin memang playboy dulunya, namun itu semua demi menarik perhatian Nana. Tapi, selama itu pula Nana hanya menganggap dirinya sebagai seorang teman. Lin masuk ke dalam friendzone yang dibuat oleh Nana. Satu – satunya cara agar Lin berada di sisi Nana adalah tetap menjadi teman baiknya. Meski ia harus menutup perasaannya sendiri.

Pertemuan Lin dengan Nana terjadi secara tak sengaja Sembilan tahun silam. Ketika ia telah terlunta – lunta oleh mantannya dan berjalan ke sebuah taman kota di Jakarta. Lin melihat Nana dikejauhan yang tengah jatuh sambil menangis karena hatinya terluka. Kemudian Lin datang menghampiri dan membantu Nana berdiri. Semenjak itu persahabatan mereka terjalin. Dari situ pula Lin jatuh cinta kepada Nana.

Lin banyak menghabiskan waktu Bersama Nana, ketika Nana terluka oleh beberapa mantannya. Lin dengan setia menawarkan bahunya untuk bersandar. Lin tahu pengorbanannya tidak akan dipandang oleh Nana sebagai orang yang spesial. Tapi Lin berusaha untuk selalu menjadi orang pertama yang mengetahui perasaan Nana.

Kini, rasa cintanya sudah tak terbendung lagi. Hal itu di picu oleh mantan pacarnya Nana. Ia menduga bahwa Nana masih memiliki hati kepada Adhi. Dan dari cara tatapan Adhi kepada Nana-pun seperti gayung bersambut. Lin sangat khawatir. Dia berpikir, mau sampai kapan menjadi "tong sampah" Nana. Sekarang atau tidak sama sekali untuk mengungkapkan perasaannya. Meski bukan kali pertama ia menyatakan cinta.

Lin menghormati keputusan Nana ketika ia akan menikah, walau ia tahu Nana tidak mencintai mas Gema. Seandainya saja saat itu Lin menawarkan bantuan finansial dan berani melamar Nana, mungkin kini ia telah menjadi suami dan hidup bahagia Bersama Nana. Lin merasa sungguh bodoh. Ia telah melewatkan banyak kesempatan. Dan sekarang ia tidak ingin hal itu terulang.

***

Lin mengetuk pintu kamar Nana,

"Na... maafin gue ya. waktunya memang gak tepat buat gue ngomong kaya gini. Tapi gue masih manusia Na. gue lelaki dan punya perasaan" ujar Lin dengan tampang muram

Nana terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia paham apa yang dikatakan Lin. Nana juga mengerti kenapa Lin selalu ada untuknya. Nana berusaha untuk tidak menghiraukan setiap debaran jantungnya selama Sembilan tahun ini. Nana tetap memasang friendzone. Bagi Nana, Lin adalah seseorang yang sangat berarti. Bila Lin menjadi pacarnya dahulu, lambat laun pasti akan putus dan mereka tidak akan bisa berteman seperti sekarang. Sulit rasanya menerima pernyataan Lin setelah apa yang ia korbankan selama ini untuk Nana.

"Na, please.. buka pintunya. gue mau ngomong sama elu tanpa terhalang pintu. Lagian gak enak juga ngomong sama pintu. Kemarin gue udah ngomong sama tembok terus dicuekin. Masa sekarang temen gue berubah jadi pintu?" ucap Lin dengan nada memelas.

Nana yang mendengar itu hampir saja tertawa, bisa – bisanya Lin mengucapkan kalimat bodoh. Ah.. Nana memang tidak bisa berlama – lama marah kepada Lin. Segera ia membuka pintu.

"Nah, gitu dong. gue gak ngomong sama pintu lagi" cengir Lin sambil memerkan deratan gigi putihnya.

Nana memukul – mukul Lin "brengsek Looo !"

"aduuhh.. sakit Naa.. pliss jangan pukul body gue. tenaga elu itu, kadang klo gak dibutuhin bisa gotong lemari pakaian" canda Lin mencairkan suasana

"ajegilee.. emangnya gue atlet binaragawan" jawab Nana yang melotot dan mencubit Lin

"piss Na.. piss..." sahut Lin tertawa kesakitan

HATI YANG LAINWhere stories live. Discover now