Mendadak saja bang Varo datang, ia mengalungkan tangan ke leher Alwan sambil berjalan ke arah ranjang. "Mending lo nikahin aja Wan supaya sah jagain dia, kan kasian kalau sakit terus. Nikah muda mah gak papa kali Wan," menepuk pundak adiknya.

Ama menyikut perut bang Varo karena sembarangan saja mengatakan hal itu tanpa di saring terlebih dahulu. Alwan hanya tersenyum ke arah Aery yang memalingkan wajahnya ke arah jendela.

"Mau gue kasih makan apa anak orang nanti bang? Pake cinta mah gak cukup kali," balas Alwan sambil memakai dasi sekolah.

Ama juga mencubit Alwan karena mau saja membalas omongan kakaknya. Suara ketukan membuat mereka menatap pintu, perlahan muncul 2 sosok yang sangat di kenal oleh Aery. Gadis itu segera memalingkan wajah karena enggan melihat mereka.

Ama dan Abak datang ke sini setelah di beri tahu oleh Alwan kalau anak mereka aman di kediaman ini. Mendengar berita baik itu, mereka merasa sangat lega seakan semua beban yang mereka pikul hilang seketika.

"Senang bisa bertemu lagi dengan anda," mengulurkan tangannya ke arah Ama.

Sudut bibir merah itu tertarik ke atas, "Maaf tapi saya tidak ingat kapan kita pernah bertemu, udah gak semuda dulu jadi sering lupa."

Mereka hanya tertawa saja, lalu kembali fokus pada gadis yang ada di ranjang. Ibu Alwan bangkit dari duduknya, dan di gantikan oleh Ama sedangkan Abak hanya menunggu di pintu karena masih merasa bersalah.

Wanita itu menyentuh pipi Aery, di sana terdapat bekas tamparan semalam. Ia mengelus dengan hati-hati lalu menjauhkan tangannya bahkan sebelum Aery memintanya melakukan hal tersebut.

Belum sempat sepatah katapun keluar dari mulutnya, tiba-tiba saja Aery bangkit dari tempat tidur dan menggandeng tangan Alwan agar menjauh dari kamar itu. Ama hanya menunduk, menghembuskan napas secara kasar sedangkan bang Varo dan ibunya hanya bisa diam saja.

Di ujung pintu mata Aery beradu dengan mata Abak, hanya sebentar karena keduanya saling membuang muka setelah itu. "Anterin gue pulang."

Alwan hanya menurut saja, toh saat ini ia juga sudah terlambat untuk datang ke sekolah. Aery sedikit menjarak dari lelaki itu, mereka berjalan beriringan tanpa sepatah katapun. Saat hendak menuruni anak tangga, Alwan cepat-cepat mengalungkan tangannya ke bahu Aery agar tidak terjadi apapun kepada gadis tersebut saat menuruni anak tangga. Kondisinya juga belum stabil sehingga Alwan was-was membiarkannya seorang diri.

Bang Varo pergi meninggalkan mereka bertiga, karena ibunya ingin membicarakan hal penting kepada kedua orangtua Aery.

Aery kehilangan tenaganya, sudah satu hari ia tidak mengisi kembali tenaganya. Bibirnya tampak pucat, sesekali ia berhenti melangkah karena rasa sakit kembali menjalar di kepalanya yang terluka. Alwan sadar bahwa gadis itu tidak sanggup lagi berjalan lebih jauh, ia membawa Aery untuk beristirahat di kamarnya saja.

Bang Varo melihat Alwan kesusahan membuka pintu kamar, dengan senang hati ia membantu adiknya. Aery duduk di tepi ranjang, sedangkan 2 orang lelaki itu pergi dari sana. Bang Varo harus pergi kuliah dan Alwan pergi ke meja makan untuk mengambil roti selai dan susu panas untuk adik kelasnya yang tampak kelaparan.

Aery menatap ke segala arah, semua barang yang ada di kamar ini tertata dengan rapi, dekorasinya juga minimalist sehingga betah jika berlama-lama di sana. Gadis itu berdiri, ia berjalan ke arah meja belajar yang terdapat buku-buku yang masih terbuka, mungkin lupa ditutup oleh Alwan semalam atau memang sengaja di bukanya pagi ini karena masih ada pr yang belum selesai dikerjakan.

Ia berpindah ke samping meja belajar, di sana ada sebuah gitar yang tergantung di dinding kamar. Aery memetik salah satu senar, sehingga terdengar satu nada menggema. Akan indah terdengar jika di padukan dengan nada lain tapi sayang gadis itu tidak pandai memainkan alat musik tersebut.

IMPOSSIBLE [Completed]Where stories live. Discover now