15. Rasa Yang Tidak Pernah Luntur

Start from the beginning
                                    

"Oh ya? Baik hati? Bagus dong, itu artinya kamu udah mulai cinta ke aku. Dan kamu bilang kalo kamu kasihan sama kita berenam? Wah, aku tersanjung loh. Kamu bisa kasihan dan baik hati dalam waktu yang bersamaan, bukankah itu rekor?" Balas Prilly masih berusaha meredam debarannya. Sebenarnya, ia masih gugup dan takut untuk melawan Ali.

"Yaudah lah, Li. Lagian kita udah bolos juga, gak usah diribetin," balas Indah tak kalah enteng. Ali melirik sinis ke arah Indah.

"Lo pengaruhin apa si Indah sampe-sampe bisa senurut itu sama lo?! Lo itu emang pengaruh buruk buat semua orang!" Bentak Ali. Prilly menampilkan seringaian sinisnya.

"Kalo aku aja bisa pengaruhin Indah, kenapa aku gak bisa pengaruhin kamu? Atau jangan-jangan kamu udah kenak pengaruh cinta aku, ya?" Goda Prilly sambil terkekeh pelan.

"Bangsat! Murahan lo! Mumet gue dihadapin sama cewek sinting kayak lo!" Maki Ali kesal, pakai maksimal. Lalu ia pergi dari hadapan Prilly dan Indah.

"Tuhkan, gue bilang juga apa. Belum gue kasih cipokan aja dia udah nyerah, gimana kalo gue cipok. Bisa-bisa minta tambo lagi dia," ujar Prilly sambil tertawa kecil membuat Indah terbahak.

"Emang bener yang dibilang Ali, lo emang sinting!" Balas Indah masih dengan tawanya. Orang-orang yang tadinya sempat memfokuskan diri pada pertengkaran kecil Ali dan Prilly, sekarang malah mencibir Prilly sinting, murahan, muka tembok, jalang, dan segala umpatan kasar lainnya.

"Loh, Rassya kenapa lagi sih sama Ali?" Tanya Indah sambil melirik keluar jendela. Tampak di luar kelas, Rassya dan Ali sedang berdebat. Bahkan tak jarang, Rassya mendorong pundak Ali.

"Buruan, lihat!" Ujar Prilly sambil menarik tangan Indah kencang.

"Kalo lo mau nakal, nakal sendiri aja, gak perlu narik-narik temen lo!" Tegur Ali dengan nafas memburu.

"Temen gue? Prilly maksud lo?" Balas Rassya dengan sinis. Ia meludah pelan, untung saja tidak mengenai sepatu Ali.

"Dino, Fathar, Maxime, Indah, mereka semua korban hasutan lo," lanjut Ali masih dengan nada datar.

"Terus? Apa peduli lo?" Rassya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Peduli gue? Gue wajib peduli sama anak urakan kayak lo! Kalo bukan karena gue ketua kelas, gue juga ogah ribetin hidup lo yang gak berguna," jawab Ali datar.

Rassya yang tidak senang dengan ucapan Ali pun mendorong bahu Ali, "Lo gak berhak ngatur hidup gue! Mau berguna atau enggak! Mau lo ketua kelas atau bukan!"

Ali menarik napasnya dalam-dalam, "Gue mau sekarang lo hadep wali kelas dan jujur kalo lo udah bolos!" Rassya menyeringai dengan arogan, ia meludah kembali.

"Dasar babu wali kelas, dikit-dikit ancemannya wali kelas. Kenapa?! Lo takut jabatan lo itu turun? Terus lo gak jadi sorotan lagi?" Ali enggan membalas hujatan Rassya, ia masih menatap Rassya dengan pandangan dingin.

"Takut lo sama gue? Gak bisa jawab? Mati gih, dasar caper!" Rassya yang sudah sangat geram pun, melayangkan bogeman mentah di tulang pipi sebelah kanan Ali.

Ali terpental beberapa langkah ke belakang, Prilly yang melihat hal itu pun tidak tinggal diam. Ia menarik baju Rassya kencang, membuat Rassya mundur. Sedangkan Ghina dengan sigap memeriksa pipi Ali, sambil mengelus-ngelus pelan, modus.

"Sya! Lo apa-apaan sih? Lo tau kan, Ali emang gitu orangnya! Gue lebih suka lo berdua adu mulut daripada adu otot! Gue gak suka lo nyakitin dia!" Ujar Prilly dengan keras. Ia bahkan menendang tulang kering Rassya membuat sang empu mengaduh kesakitan.

"Kamu gapapa?" Tanya Prilly kemudian menghampiri Ali yang sudah dibawa duduk ke dalam kelas. Ali menatapnya dengan enggan.

"Pergi lo dari sini," ujar Ali dengan raut dongkol.

"Kamu tunggu disini sebentar ya, biar aku beliin es batu di kantin untuk ngompres lebam kamu," balas Prilly tidak menunggu tolakan Ali.

Rassya dan teman-temannya tidak berniat mengunjungi wali kelas dan mengaku kesalahan mereka, malah mereka kini sedang mencibir kelakuan Prilly yang dianggap tidak setia kawan.

Prilly berlari dari lantai 3 menuju lantai 1 dengan kekuatan super, tidak peduli kejadian tadi pagi akan terulang lagi. Baginya, keselamatan Ali jauh diatas keselamatannya sendiri. Ia membeli es batu dan kain kasa, ia harus memastikan bahwa tulang pipi Ali tidak bergeser seinci pun. Jika saja bergeser, maka ia sendiri yang akan melayangkan bogeman ke tulang pipi Rassya.

Setelah balik ke kelas dengan napas terengah-engah. Ia masuk dengan senyuman pahit. Bukankah ia selalu kalah? Ia selalu kalah sebelum memulai.

Prilly selalu kalah.

Kalah sebelum perang.

Tapi...seberapa pahit pun kenyataan itu.

Rasanya terhadap Ali, tidak pernah meluntur.

Prilly menyerahkan es batu dan kain yang dibelinya di atas meja Ali, sambil tersenyum seolah ia baik-baik saja.

"Itu esnya dipake ya, siapa tau aja es yang dibeli Ghina gak cukup. Sebelum cair tuh." Prilly terkekeh kecil sambil berkedip pelan. Kedipan yang membuat air matanya menetes.

Stay (Away)Where stories live. Discover now