26. Sisi Yang Tidak Pernah Terlihat

2.1K 268 73
                                    

"Maaf, gue agak telat," ujar Ali merasa bersalah.

Untuk menunggu satu jam bukan masalah buat gue, Li. Bahkan gue sanggup nungguin lo selama dua tahun lamanya. Mungkin kalau lo nyuruh gue untuk bertahan lebih lama lagi, gue bersedia, Li. Sayangnya, lo gak memberi gue kesempatan untuk itu.

Namun, Prilly hanya merespon dengan senyuman menenangkannya, "Santai aja."

"Maaf ya, tadi gue nganterin Fira ke rumah Omanya dulu." Balasan Ali menyadarkan Prilly tentang posisinya, Ghina masih menjadi prioritas di dalam hidup Ali.

"Gapapa, lagian gue juga baru sampe kok." Bohong! Prilly lagi dan lagi membohongi Ali dan dirinya sendiri.

"Yaudah, kita langsung mulai aja sekarang," ujar Ali sambil mengeluarkan buku yang sangat tebal, mungkin berkisar 400 halaman.

"Basic gue lemah banget, Li." Prilly berkata dengan apa adanya.

Ali mengangguk, "Setiap individu dibekali dengan kemampuan dan potensi di masing-masing bidang. Buktinya lo mahir di bidang hitungan apalagi hapalan, gue juga salut sama bakat public speaking lo. Enggak semua orang bisa sehebat diri lo."

"Jadi, jangan pernah merasa kalo lo itu lemah," pesan Ali.

Wajar saja jika Prilly menjadi semakin semangat, karena ini kali pertamanya Ali mendukung dan memberikannya wejangan berharga. Hal itu bagaikan sugesti yang membakar jiwa Prilly untuk menjadi orang yang lebih giat lagi.

"Gue tersanjung dengan kata-kata lo, anyway thanks," balas Prilly sambil tersenyum lebar.

"Gue tau lo anaknya logis banget," ujar Ali yang disetujui oleh Prilly.

"Kalo gitu gue bakal ajarin lo cara penalaran saat memecahkan soal-soal begini, dengerin ya," Prilly kembali mengangguk antusias dan melirik ke arah tulisan yang ditunjuk sama Ali.

Selang beberapa jam, akhirnya Prilly sudah menguasai 3 topik pembahasan untuk materi yang akan ia hadapi saat ujian TOEFL nanti. Prilly menyenderkan badannya ke kursi, sambil memberi sedikit gerakan kecil pada tubuhnya.

"Capek?" Tanya Ali yang dihadiahi anggukan dari Prilly.

"Lo udah laper belum?" Tanya Ali.

"Males," balas Prilly cuek.

"Lo punya maag 'kan?" Selidik Ali sambil melihat wajah Prilly.

Prilly mengernyitkan dahinya, "Lo kok bisa tau?"

Ali terlihat gelagapan, "Gue gak sengaja dengerin lo diomelin sama Rassya gara-gara telat makan."

Prilly membulatkan mulutnya, "Jarang kambuh kok."

"Karena jarang kambuh makanya dijaga, jangan sampe kambuh dulu baru diatur pola makannya," omelan Ali membuat darah Prilly berdesir.

"Rempong lo," cibir Prilly.

Ali melotot, "Dibilangin juga ngeyel banget, gue gak mau lo jatuh sakit."

Prilly menggigit bibirnya dalam-dalam, Ali hanya khawatir kepadanya sebagai teman 'kan?

Prilly mengangguk lemas, "Yaudah, sekarang kita pesan makan."

"Oh iya, habis ini gue gak bisa nganterin lo pulang, sorry." Ujar Ali membuat Prilly mengangguk, lagi pula ia tidak berharap Ali akan mengantarnya pulang. Belajar bersama Ali saja sudah membuat Prilly merasa cukup. Mungkin Ali mempunyai kesibukan yang lain, seperti menjemput Ghina?

"Lo habis ini langsung pulang 'kan?" Tanya Ali.

"Belum tau, kalo gue lagi bosen, ya, paling main ke rumah Rassya," balas Prilly.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang