48. De Javu

1.2K 168 23
                                    

Prilly memakan mie di hadapannya dengan khidmat, sedangkan Ali hanya duduk termenung. Prilly mengangkat kepalanya lalu melirik Ali dalam diam, ia seolah dapat mengartikan tatapan kosong Ali yang menyiratkan kehilangan mendalam.

"Li?" Panggil Prilly pelan. Ali seolah menulikan telinganya, ia tidak menyahuti panggilan Prilly.

"Ali?" Panggil Prilly sekali lagi. Sebulir air dari pelupuk mata Ali mengalir, tetapi langsung buru-buru dihapusnya.

"Lo mau nangis?" Tawar Prilly yang dibalas gelengan oleh Ali. "Jangan ditahan kalo emang merasa gak baik-baik aja," imbuhnya sambil menggeser mangkuknya.

Ia berdiri dan menghampiri Ali yang duduk di seberang, "Lo jelek kalo sok kuat kayak gini." Prilly yang berdiri tentu saja lebih tinggi daripada Ali, ia mengelus surai Ali lembut, seolah menyalurkan kekuatan.

Ali menutup wajahnya dengan telapak tangan, bahunya bergetar pelan. Tanpa banyak bicara, Prilly mendekap Ali dari samping. Prilly tidak tahu rasanya sesakit apa, tetapi yang ia tau pasti bahwa laki-laki di depannya sedang butuh sandaran.

Beberapa menit berselang, Ali menurunkan telapak tangannya sambil menatap Prilly dengan mata yang merah. Prilly menatap Ali dengan tatapan hangatnya, ia mengendurkan pelukannya dan menduduki kursi di samping Ali.

"Gimana, udah merasa baikan?" Tanya Prilly dengan nada khawatir. Ali mengangguk, "Gue malu," cicitnya.

"Malu?" Beo Prilly sambil menaikkan alisnya sebelah.

"Karena gue nangis di depan lo, malu aja gitu, masa cowok nangis terus ditenangin sama ceweknya," ujar Ali dengan polos. Ia mengesap ingusnya, agar tidak tumpah.

"Ih, jorok banget sih!" Cibir Prilly dengan tatapan jijiknya. "Oh iya, siapa yang bilang kalo cuma cewek yang boleh nangis dan ditenangin sama cowok? Hal itu enggak berlaku buat gue, Li. Orang-orang di sekitar gue, gak peduli mau cewek ataupun cowok, mereka harus jujur kepada dirinya sendiri, jujur atas apapun emosi yang sedang mereka rasakan," lanjut Prilly.

Ali mengulum senyumnya, "Makasih ya, Pril? Karena lo satu-satunya orang yang membuat gue merasa kalo gue harus bertahan."

"Ya, emang! Lo gak boleh nyerah gitu aja. Sekacau apapun hidup lo, serumit apapun masalah yang lo hadapi, hidup terus berjalan, Li." Balas Prilly.

"Terima kasih, karena lo udah nemenin gue di titik terendah, kayak begini. Rasanya udah cukup," ujar Ali dengan tulus.

Prilly mengangguk, "Udah kewajiban gue sebagai temen lo."

"Cuma temen nih?" Tanya Ali dengan wajah cemberut.

"Lo, ya, ih ngeselin! Tadi aja sok-sokan mewek, sekarang malah banyak ngelantur. Aliando ngeselin Syarief," ujar Prilly dengan jengkel.

"Iya, Prilly sayangnya Ali Latuconsina? Ngeselin tapi lo sayang 'kan?" Goda Ali dengan tatapan jahil.

Prilly memalingkan wajahnya, "Gak usah sok tau deh! Gue udah gak punya rasa buat lo."

Ali terkekeh pelan, "Tapi gue gak peduli lo ada rasa atau enggak sama gue. Karena tugas gue cuma buat lo jatuh cinta ulang sama gue."

Bahkan tanpa usaha keras dari lo pun, gue udah jatuh berulang kali di lubang yang sama, Li.

"Lo gak mau makan?" Tanya Prilly mengalihkan pembicaraan.

"Belum laper," jawab Ali.

Prilly mengernyitkan dahinya, "Emang lo udah sarapan tadi?"

Ali menggeleng sambil cengengesan, "Udah kenyang ngeliatin bidadari di hadapan gue."

"Bentar, bentar, sejak kapan lo jadi jago ngegombal kayak gini?" Tanya Prilly sambil mendengus.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang