45. Kehilangan Harapan

1K 169 8
                                    

"Lo gak tidur semaleman, Li?" Tanya Arman sambil mengucek matanya. Ali mengangguk singkat, "Lagi banyak pikiran."

Tiba-tiba ponsel Ali berdering, ia menempelkan benda persegi panjang itu pada telinga sebelah kanannya.

"Halo, Bun?" Tanya Ali kepada orang yang ia panggil 'Bunda'.

"Li, ayah...Li," suara Bunda terdengar bergetar di seberang sana.

"Ayah?! Ayah kenapa, Bun?" Tanya Ali dengan nada yang tak kalah panik.

"Kita harus tabah ya, Nak?" Pesan Bunda meskipun ragu.

"Bun, Ali tanya sekali lagi, ayah kenapa?" Tanya Ali dengan tidak sabar.

"Ayah kamu udah gak bisa bertahan, Li. Ayah...ayah udah gak ada," pecahlah isak tangis Bunda Ali di seberang sana.

Ali memundurkan langkahnya, ia menatap langit biru di atasnya. Ia mengulas senyuman pahit, sebelum akhirnya berkedip dan meluncurlah cairan bening dari pelupuk mata sebelah kirinya.

"Bunda, Ali enggak lagi mimpi 'kan?" Tanya Ali disertai helaan putus asa.

"Enggak, Nak. Mungkin ini semua takdir Tuhan, kita harus tabah dan ikhlas ya?" Balas Bunda.

Ali menggigit bibirnya dalam, "I..iya, Bun."

"Ali kamu kapan pulang, Nak?" Tanya Bunda lirih.

"Sekarang juga Ali pulang, Bun. Bunda tungguin Ali ya," Ali memutuskan panggilan sepihak.

Arman yang masih setia berdiri di dekat Ali seolah paham dengan potongan kalimat yang tidak sengaja ia dengar dari percakapan antara Ali dan Bundanya.

"Li, gue turut berduka ya. Semoga lo dan keluarga diberi ketabahan, biar gue bilang ke yang lain kalau gue sama lo balik duluan," ujar Arman sambil merengkuh bahu Ali.

Ali tertunduk lesu, "Gue cuma gak nyangka kalo bokap bakal pergi secepat ini, Ar. Super hero gue, role model gue, idol gue, satu-satunya pondasi di keluarga gue. Rasanya baru kemarin gue bahas tentang masa depan sama ayah. Sekarang, gue bahkan gak yakin dia masih bisa mendengar apa yang bakal gue ceritain."

"Iya, gue tau rasanya pasti hancur banget 'kan? Mendingan kita berangkat sekarang, kasihan nyokap sama kakak lo, mereka pasti butuh sosok laki-laki," ujar Arman yang diangguki oleh Ali.

Arman dan Ali kembali ke pusat tenda, tampak mereka semua sedang bersenda gurau. Ali duluan masuk ke tenda guna menyusun barang-barangnya yang akan ia bawa pulang.

"Guys, bokap Ali meninggal dunia," ujar Arman dengan nada pelan tetapi masih terdengar jelas oleh semua orang yang berada di sana.

"Keadaan Ali gimana sekarang?" Suara yang paling panik terdengar dari mulut Bimo.

"Dia mau balik duluan, biar gue yang temenin," balas Arman.

"Gue ikut," ujar Bimo mengajukan diri.

"Lo yakin? Gimana sama yang lain?" Tanya Arman.

"Lo pasti tau betapa hancurnya Ali, Ar. Pas dia tau ayahnya kena kanker aja dia terpukul banget, hidup dia kacau dan berantakan banget. Apalagi sekarang, Ar? Apalagi dia anak laki-laki satu-satunya, otomatis dia yang bakal mengemban semua tanggung jawab sendiri." Ujar Bimo dengan perasaan yang tidak karuan.

"Max, lo tolong urus semuanya ya. Gue sama Arman biar nemenin Ali dulu. Dia udah gak punya siapa-siapa lagi selain kita," pesan Bimo kepada Maxime.

Maxime mengangguk cepat, "Titip pesan buat Ali dan keluarga. Bilang gue turut berduka dan semoga mereka diberi ketabahan."

Ali keluar dari tenda dengan wajah yang sangat datar, ia seolah tidak tersentuh. Tanpa banyak bicara, ia meninggalkan perkemahan dan teman-temannya. Mereka semua seolah mengerti apa yang dirasakan oleh Ali, jadi mereka tidak mempermasalahkan hal itu.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang