15. Rasa Yang Tidak Pernah Luntur

3.2K 461 89
                                    

Idiot.

Bodoh.

Dan...

Menyedihkan.

Bahkan tiga kata diatas, tidak cukup kejam untuk mendeskripsikan Prilly.

Prilly yang malang, karena harus melihat pemandangan Ali dengan senyuman lembut menyerahkan teh hangat dan coklat kepada Ghina. Ia mengulum bibirnya pelan, sambil tersenyum jenaka. Seandainya, ia cukup waras untuk tidak menyusul Ali tadi.

Seandainya.

Sudah kepalang basah, hatinya juga sudah penuh dengan darah-darah yang masih lembab. Darah-darah yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, hanya bisa dirasakan oleh Prilly seorang.

Prilly membalikkan tubuhnya, berjalan pelan ke arah bangkunya sambil menatap kosong langkahnya.

"Lo kuat." Prilly mendongak, menatap asal suara yang berbisik kepadanya. Gritte menatapnya datar. Mata Prilly membulat agak sumringah, lalu meredup seketika.

Mengingat ucapan terakhir Gritte saat masih berstatus sahabatnya. Sederet kalimat yang terdengar sederhana, namun mampu mematahkan hati siapa saja yang mendengarnya.

Jujur aja, gue nyesel pernah jadi sahabat lo.

Ia memantapkan langkahnya lagi, enggan untuk mengingat masa suramnya beberapa bulan yang lalu. Bagi Prilly, tidak ada yang perlu ia sesali selama ia sudah melangkah. Terkecuali, ia menyesal karena telah menyusul Ali tadi.

"Jangan bilang lo mau nangis," ujar Rassya jengkel. Ia memegang dagu Prilly agar menatapnya, menelisik mata Prilly yang terlihat sayu namun tidak mengeluarkan air.

"Sok tau lo, minggir sono." Prilly berdecak, lalu mengalihkan pandangannya dari Rassya. Rassya menghadang langkahnya lagi, menatap Prilly lebih dalam.

"Ayok, bolos, bareng Fathar sama Dino, oh iya Maxime juga! Ajak Indah, gih." Ujar Rassya santai. Prilly melotot sambil mengangkat kepalan tangannya.

"Ya elah, gue bosan tau belajar mulu," imbuh Rassya lagi. Prilly memutar bola matanya jengkel. Rassya memasang cengiran andalannya.

"Lo bilang bosen? Bahkan waktu masuk kelas lo bisa dihitung pake jari," cibir Prilly garang.

"Ayolah, Pril. Kali ini doang, janji deh habis ini gue gak bolos-bolos lagi," bujuk Rassya belum menyerah.

"Enggak, lagian gurunya udah mau datang juga," tolak Prilly keras. Bukan Rassya namanya jika tidak berhasil membujuk Prilly, ia terus-terusan memohon bahkan tak segan mencolek-colek lengan Prilly.

"Fine! Untuk kali ini gue ikut lo bolos! Dan ini terakhir kalinya!" Balas Prilly dengan setengah hati, sekaligus jengah.

"Kalo gitu, sekarang lo beresin buku sama tas lo, sekalian sama Indah. Gue sama yang lain tunggu di bawah," balas Rassya dengan suara ceria khasnya. Mau, tidak mau, Prilly ikut tersenyum kecil.

Prilly buru-buru jalan ke tempatnya yang sisa tiga langkah lagi, mengambil tasnya sambil menarik-narik tangan Indah. Indah yang kebingungan pun dengan lincah mengambil tasnya.

Mengingat semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, langkah Prilly dan Indah diiringi oleh berpuluh-puluh pasang mata dari dalam kelas.

Sebelum benar-benar keluar dari kelas, Prilly diinterupsi oleh teriakan Ali. "Mau kemana kalian?"

Prilly melempar ciuman jarak jauhnya. "Ke hati lo! Kalo guru tanya kenapa gue sama yang lain gak ada di kelas, bilang aja kita ada urusan sama guru BK!" Balas Prilly santai, lalu melenggang keluar dari kelas.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang