52. Renjana Yang Amerta

710 96 2
                                    

Prilly tersenyum riang memasuki ruang kelas, wajahnya berseri dan sumringah. Prilly berputar-putar di depan kelas sambil bersenandung kecil. Siapapun yang bertemu pandang dengan Prilly pasti dihadiahi sapaan ramah khasnya.

"Gue takut lo kesambet," ujar Rassya pelan.

"Asya, gue bahagia pake banget," balas Prilly sambil bertepuk tangan girang.

"Syaiton pun tau kalo lo lagi bahagia," cibir Rassya.

"Lo gak ikutan bahagia gitu ngelihat gue bahagia?" Tanya Prilly cemberut.

"Bahagia sih," Rassya menggantung ucapannya, "Tapi harus banget sama dia?"

"Ih, lo kok gitu sih, Sya?!" Prilly menjewer telinga Rassya dengan nada tidak terima.

"Becanda elah, Pril. Dari dulu, gue cuma mau lo bahagia. Bahagia dengan pilihan lo. Dan kalo ternyata bahagianya lo tetap ada pada Ali, gue akan selalu doain yang terbaik ya?" Balas Rassya dengan tulus. Prilly yang mendengar hal itu menjadi sedih dan terharu.

Ia merentangkan tangannya, siap memeluk Rassya. Namun, setelah melihat Ali yang muncul dari balik pintu kelas, Prilly mengurungkan niatnya. Kini, ada hati yang harus ia jaga. Ah, memikirkan hal itu saja membuat Prilly memerah!

"Gue samperin Ali dulu ya, bye Asya!" Prilly melambaikan tangannya dan meninggalkan Rassya dengan senyuman tipis. Melihat Prilly yang kembali centil dan tengil, membuat Rassya sangat lega. Itu artinya sahabatnya sedang merasakan bahagia.

"Good morning, siapa ya?" Tanya Prilly sambil berpikir kecil.

Ali menjentikkan jarinya di dahi Prilly, "Dasar pikun!"

"Selamat pagi, pangeran tampan titisan dewa yang paling ganteng di muka bumi dunianya Prilly," sapa Prilly tersenyum cerah.

Jika dulu Ali selalu menatap Prilly dengan jengkel dan memilih mengabaikan sapaan Prilly, kini ia malah mengacak rambut perempuan di hadapannya dengan gemas.

"Iya, selamat pagi," balas Ali sambil mengulum senyum.

"Ih, gak lengkap Ali. Selamat pagi siapa? Temen? Tetangga? Atau simpanan? Yang jelas dong!" Ujar Prilly tidak terima.

Ali terkekeh geli, gadisnya memang unik. "Selamat pagi, kesayangannya Ali." Mulut Prilly terbuka lebar, ia tidak menyangka Ali akan semanis ini.

"Ali, nikah yuk!" Ajak Prilly dengan nada keras. Hal itu membuat orang-orang di kelas menatap ke arah mereka dengan pandangan aneh.

"Tuh cewek bener-bener, urat malunya putus!" Cibir Fathar dari belakang kursi.

"Ya elah, pipisnya Ali juga masih miring-miring. Gimana bisa kawinin elo?!" Tanya Dino dengan histeris.

Ali menutup wajahnya malu, hal itu membuat tawa Prilly berderai. "Becanda, Captain." Ujar Prilly sambil menggoyang-goyangkan lengan Ali.

Kemudian, Ali menatap Prilly dengan lekat. "Tanpa becanda pun, aku emang mau serius sama kamu, Pril. Tapi, jangan sekarang ya?" Tanya Ali dengan nada lembut.

Prilly terkikik geli, "Yee...kalo sekarang, Ali junior mau dikasih makan apa? Batu?"

Di sudut ruangan, Ghina tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis. Fadil menutup mata Ghina sambil berbisik pelan, "Jangan dilihat kalo sakit."

Ghina membalikkan tubuhnya, "Gue bahagia, Dil. Gue seneng kalo ngelihat Ali dan Prilly bahagia."

Fadil menaikkan alisnya sebelah, "Perempuan emang suka membohongi diri sendiri."

* * *

Disinilah, Ali berdiri bersama dengan Bimo. Cukup lama mereka terdiam, sebelum Bimo membuka suara. "Li," panggilnya.

"Gue benci air mata Prilly," ujar Bimo langsung.

Ali mengangguk paham, "Gue akan berusaha supaya dia gak ngeluarin air matanya lagi."

"Gue benci Prilly tertawa padahal hatinya lagi menyimpan kesedihan," ujar Bimo lagi.

Ali mengangguk kembali, "Gue akan memastikan dia beneran bahagia dan tertawa."

"Gue benci karena gue gak berhasil bahagiain dia."

"Dan lebih benci lagi karena dia memilih jatuh kembali ke pelukan orang yang udah nyakitin dia." Bimo berkata dengan tatapan yang sangat datar.

"Gue janji gak bakal nyakitin dia lagi," balas Ali dengan nada serius.

Bimo menepuk pelan bahu Ali, "Lo harus pegang ucapan lo, Li. Karena sekali aja lo nyakitin dan nyia-nyiain Prilly, gue gak akan tinggal diam."

Ali mengangguk, "Thanks, Bim."

"Gak usah makasih Pak Ketua, karena emang cuma lo yang bisa ngebahagiain Prilly. Gue harap, lo akan terus nemenin dia menghadapi kejamnya dunia. Lo gak akan buat dia menunggu lagi, lo gak akan pernah nyakitin dia, dan lo gak akan ninggalin dia," pesan Bimo sebelum ia berlalu.

Setelah menemui Bimo, Ali berpas-pasan dengan Rassya. Rassya menatapnya dengan tajam, kemudian ia memulai percakapan.

"Gue harap lo bisa manfaatin kesempatan terakhir Prilly buat lo," ujar Rassya datar.

"Tentu," balas Ali dengan yakin.

"Sebenarnya, gue gak setuju dia kembali sama lo," ujar Rassya jujur.

Ali mengangguk, "Gue tau."

"Bagus kalo lo tau, seharusnya lo tau juga 'kan, siapa orang pertama yang bakalan ngabisin lo kalo lo buat Prilly nangis?" Tanya Rassya dengan tatapan tajam.

Ali membalas Rassya dengan tatapan tenang, "Dan, gue gak akan ngebiarin Prilly nangis lagi."

"Gue pegang ucapan lo!" Rassya sengaja menyenggol bahu Ali dengan keras.

* * *

"Kamu tadi nemuin siapa?" Tanya Prilly dengan tatapan horor.

"Bimo dan eng...Rassya," jawab Ali.

Prilly memutar tubuh Ali, "Kamu gak diapa-apain sama mereka 'kan?"

Ali tertawa kecil, "Emangnya mereka bakalan ngapain aku?"

"Ya, siapa tau aja! Aku cuma gak mau kamu kenapa-napa," ujar Prilly dengan nada sedih.

Ali mengangkat dagu Prilly dengan telunjuknya, "Hei, lihat aku."

Netra Prilly menghunus pupil mata Ali, ia menatap Ali dengan sangat intens. Bahkan Prilly tidak berkedip, seolah jika ia berkedip maka Ali akan menghilang dari hadapannya. Prilly melihat mata Ali yang teduh, menenangkan, dan berhasil membuatnya jatuh cinta.

"Aku gak kenapa-napa dan gak akan pernah kenapa-napa. Karena aku udah janji ke diri sendiri, supaya enggak akan pernah ninggalin kamu." Perkataan Ali membuat mata Prilly berkaca-kaca.

Di detik berikutnya, setetes air meluncur bebas dari mata Prilly. Hal itu membuat Ali panik setengah mati, "Hei, kok nangis? Aku ada salah sama kamu? Aku nyakitin kamu?"

Ali menarik tubuh Prilly ke dalam pelukannya, "Pril? Jangan buat aku khawatir."

Prilly menggeleng di dalam dekapan Ali, "Aku...aku cuma terlalu syok sekaligus bahagia, Li."

"Aku masih gak percaya kalau hari ini akan datang, hari dimana kamu dengan tulus mencintai aku. Bahkan untuk berekspetasi doa aku dikabulin sama Tuhan aja aku gak berani, Li. Tapi—." Ali semakin menenggelamkan wajah Prilly di dalam dekapannya.

"Sssttt..., aku ada disini. Dan aku nyata." Ali berkata dengan nada penuh keyakinan.

Dunia Prilly yang telah lama 'mati', kini seperti hidup kembali. Kalau biasanya Prilly ceria, kini ia kelewat ceria. Kalau biasanya Prilly tertawa, kini ia terbahak bahkan sampai mengeluarkan air mata.

Prilly merasa hidupnya telah lengkap. Dan itu semua berkat kehadiran Ali.

Terima kasih, Ali telah membentuk renjana kebahagiaan untuk Prilly. Semoga amerta.

Stay (Away)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang