"Woi lo ngapain? Gedor-gedor pintu, tolong ya gue mau ketemu sama J.K Rowling dulu jadi lo gak usah ganggu gue segala," mengusap matanya yang masih sulit untuk dibuka.

"Eh lo tepatin janji dong, tugas gue masih belum selesai tuh," menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya.

Bang Varo pura-pura untuk tidak mendengar, menutup mata dan menjatuhkan diri ke pangkuan Alwan. Mendapati perlakuan kakaknya yang seperti itu Alwan melepaskan pangkuannya, mengambil segelas air lalu menuangkannya tepat di kepala bang Varo.

Ia tertawa sinis, agak lega karena melihat secercah harapan bahwa sang kakak akan bangun. 10 detik, 30 detik, 40 detik berlalu, bang Varo masih tidur di lantai walau sebagian tubuhnya basah akibat diguyur Alwan tadi.

Sabar! Alwan masih menahan kemarahannya. Ia jongkok, menepuk pipi bang Varo beberapa kali. Masih belum bangun dan tetap keras kepala untuk tidur seperti tidurnya orang mati, tetap tidak akan bangun walau diteriaki dengan pengeras suara yang di letakkan di samping telinga.

"Bang tolongin gue, please!" menggelitiki bang Varo.

Alwan tahu benar bahwa kakaknya itu penggeli, bang Varo menggeliat di lantai. Ia berdiri menatap lama adiknya yang sedang berjongkok di bawah.

"Tugas? Besok aja ya sekarang gue mau bobok dulu," tersenyum, mengangkat kedua alisnya lalu terkapar di kasur.

Alwan tidak sanggup lagi menahan emosi yang sedari meletup-letup di ubun-ubun. Sebuah bantal guling ia lemparkan ke bang Varo dengan sekuat hati. Beberapa kali, namun kakaknya masih tidak bergeming sama sekali.

"Bang tolongin gue, bang Varo," berhenti memukul dan duduk di tepi kasur.

"Sekali gue bilang nggak ya tetap nggak, sampai lo guling-gulingpun gue gak bakalan mau bantu," ucapnya diiringi tawa kecil.

Wajah Alwan memerah, matanya perlahan mengeluarkan air mata. Bang varo sadar bahwa adiknya tengah menangis namun dia diam saja, hanya dianggap nyanyian horor pengantar tidur.
Alwan menyeka air matanya yang tak terbendung lagi, ia marah karena bang Varo tidak menepati janji, ia kesal akan sikap kakaknya, ia khawatir jika tugas fisika itu tidak selesai, ia takut jika pak Tirmizi akan menghukum, mengancam untuk tidak lulus tahun ini.

Dengan perasaan yang campur aduk Alwan keluar dari kamar bang Varo, menutup pintu kamar dengan kuat sehingga mengagetkan pemilik kamar itu sendiri. Bang Varo mengintip, setelah adiknya itu telah benar-benar pergi seulas senyuman kemenangan terukir di wajah mulusnya.

Alwan membuka bukunya, mencoba untuk mengisi soal-soal itu namun sial otaknya tak bisa berpikir. Sebuah teriakan menggema dibatinnya, memekik, tertawa, seakan memojoki dirinya sendiri di tepi jurang kehancuran. Pensil yang berada di genggamannya patah, terbelah dua dengan satu bagian lebih panjang.

Kring, kring.

Ponsel yang dilempar ke kasur tadi berdering, mengagetkan Alwan yang tengah frustasi. Ia bangkit dari tempat duduk dengan rasa malas, ponsel persegi panjang itu dirampasnya lalu diangkat.

"Halo."

"Wan tolongin gue, salinin tugas fisika lo buat gue terus besok sekalian lo kumpulin ke pak Tirmizi."

"Enak aja lo, tugas gue aja belum selesai masa' iya gue harus bantuin lo juga. Gak, gue gak mau!"

"Tolongin gue kali ini aja, nyokap gue tadi kecelakaan jadi kemungkinan besok gue gak sekolah. Gimana caranya, besok tugas gue harus masuk!"

"Woi, gue--"

Tut, tut, tut.

Sambungan terputus, Alwan berpikir sejenak dan sadar bahwa wanita yang tadi kecelakaan di depan ruko bang Tagor adalah ibu dari temannya itu. Walau lupa-lupa ingat, Alwan yakin akan dugaannya.

Ponsel persegi panjang yang tengah ia genggam menunjukkan pukul 22.00 wib, masa bodoh dengan tugas ini yang penting sekarang adalah waktu untuk tidur, begitulah menurutnya. Di ranjang empuk itu kini ia tengah berbaring memeluk boneka sizuka pemberian Ama, terlelap, masuk ke alam mimpi mungkin di sana ia bisa membalaskan dendam kepada bang Varo walau tidak nyata setidaknya sudah cukup sebagai penutup rasa sakit hati pada kakaknya itu.

30 menit kemudian, pintu kamar perlahan terbuka sehingga terdengar bunyi klik yang nyaris membangunkan Alwan. Sepasang sandal berbulu bergerak masuk, mengendap-endap karena takut ketahuan.

Orang itu berjalan menuju meja belajar Alwan yang berantakkan akan buku-buku fisika, pensil, penghapus, pena, dan kalkulator digital. Tangannya perlahan menarik kursi, lalu duduk dan mulai menulis di kertas putih bergaris yang telah tersedia diatas meja.

"Gue gak akan tega liat lo kena marah sama guru Awan," ucapnya pelan sambil menatap adiknya yang tengah tertidur pulas.

***

Di ruang makan, di bawah cahaya lampu yang bersinar terang Aery melamun di tempat duduknya, membuat pak Buyuang dan bi Supiak keheranan dan cemas. Bagaimana jika anak majikan mereka itu kesurupan, mendadak kejang-kejang sendiri lalu apa yang harus mereka lakukan? Entahlah.

Bi Supiak penasaran, ia menjentikkan jari di depan wajah Aery namun masih belum berpengaruh pada gadis itu. Pak Buyuang menghentikan suapannya, ia berdiri membungkuk ke depan lalu berteriak, "Non Aery sadar."

Aery melonjak kaget, bi Supiak tampak lega sedangkan pak Buyuang kembali ke posisi semula.

"Ada apa pak? Kenapa harus teriak-teriak telinga Aery masih normal kok," celetuk Aery.

"Non Aery lagi mikirin apa?" tanya bi Supiak penasaran, ia menelan martabak mesir yang sedari tadi dikunyah.

Aery hanya menggeleng, melanjutkan kembali menyantap martabak mesir yang telah habis 1/8 bagian. Bi Supiak dan pak Buyuang saling menatap, mereka keheranan akan tingkah Aery yang seakan menyimpan sesuatu di hati.

Angin berhembus kuat disertai rintik hujan yang membasahi jalanan di luar sana. Aery hanya menatap keluar di balik kaca jendela, entah mengapa ia merindukan Ama dan Abak. Aery menepis jauh-jauh rindu itu, mulai saat ini jika mereka tak lagi mempedulikannya maka ia juga akan bersikap sama terhadap Ama dan Abak.

Aery berdiri dari tempat duduk menyudahi makannya yang masih tersisa, bi Supiak dan pak Buyuang menengadah melihat anak majikan mereka yang tampak sedih. Terlintas di benak mereka untuk bertanya kenapa tapi sebelum sempat berucap Aery lebih dulu menjauh.

"Yung, non Aery kenapa ya? Kok kelihatan sedih?" tanya bi Supiak.

"Entahlah Uni aku juga bingung."

Aery mengambil sebuah kotak berbentuk balok dari dalam lemari cokelat di sudut kamar. Perlahan tutup kotak itu dibukanya, sebuah pakaian putih dan pita merah tersimpan lama di dalam sana. Ia mengambil baju serta pita itu, lalu tersenyum dan berkata, "Antonio apa kabar, hari ini aku menemukan petunjuk tentang mu."

***

Hai zizi up nih, gimana sama part kali ini? Kependekkan ya?

Vote, komen, jangan lupa ya readers, sampai bertemu lagi di part selanjutnya yang entah kapan up. Kalau banyak yang kasih vote dan komen maka besok zizi akan up lagi.

Terimakasih.

IMPOSSIBLE [Completed]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon