Chapter 49

102K 4.9K 318
                                    

Air mata merupakan satu-satunya cara bagaimana mata berbicara ketika bibir tidak mampu menjelaskan apa yang membuatmu terluka.

----
"Kris, bangun!" Vano berdecak di sebelah Kris seraya menepuk-nepuk bahunya untuk menyadarkan. Beberapa kali membangunkan, kepala Kris masih saja merekat dengan meja bar. Racauan tidak jelas terus-menerus keluar dari mulut berbau alkoholnya. 

"Baby, aku kangen,"

"Iya, babi, iya. Kangen juga. Cepet kamu bangun!" sahut Vano sambil berulang kali mengguncang tubuhnya. "Benar-benar menyusahkan!" Vano mendengkus ketika dirasanya percuma berusaha lagi. Ia lantas memapah tubuh Kris, melingkarkan tangan Kris di pundak dan menuntunnya keluar dari bar.

Entah kali ke berapa Vano mendapatkan telepon dari temannya— pemilik bar yang biasa Kris kunjungi dalam bulan ini. Ia memang secara khusus telah berpesan pada bartender di sana jika Kris ambruk karena terlalu banyak minum, jangan sungkan untuk menghubunginya. Dan ini adalah malam kesekian di mana Kris kembali mabuk tidak sadarkan diri.

Vano menghempaskan tubuh Kris ke kursi penumpang bagian belakang setelah tidak sengaja kepala Kris terbentur pada mobil cukup kencang.

"Mampus! Sorry, dude. Nggak sengaja," ucap Vano, lantas menutup pintu mobil.

Sadar tidak sadar, Kris membuka matanya ketika merasakan sengatan tiba-tiba di kepalanya. Vano mendudukkan bokongnya di kursi kemudi dan melajukan mobilnya keluar dari area parkiran bar.

Vano menatap Kris lewat kaca mobilnya. Dia sedang memegang kepalanya sambil meringis nyeri.

"Tahu begitu, aku benturkan saja tadi kepalamu ke meja bar untuk menyadarkan!" sungut Vano asal.

Kris masih memegang kepalanya yang berdenyut, entah akibat pengaruh beberapa gelas alkohol yang diminumnya, atau akibat benturan kepalanya pada mobil. Ia mengubah posisi menjadi duduk dan menumpukkan kepalanya pada sandaran kursi.

"Di mana?" tanya Kris dengan suara serak.

"Di mana-mana," sahut Vano sekenanya. "Kamu sangat menyusahkan, Kris. Aku sahabatmu atau sopirmu sih? Hampir dua kali dalam seminggu aku menyeretmu keluar dari bar dalam keadaan sekarat!"

Kris tidak menjawab. Ia kembali memejamkan matanya. Satu nama terus berputar di kepala walaupun dalam keadaan setengah tewas seperti ini. Jakunnya turun naik meredamkan sesaknya impitan di dada ketika mengingat sosok yang dirindukannya saat ini.

"Antar aku ke apartemen dia," ucap berat Kris dalam keadaan mata yang kembali ditutup.

Ban mobil berdecit. Vano ngerem mendadak ketika mendengar perintah seenaknya Kris. Apa-apaan ini? Hanya beberapa meter lagi mereka akan sampai di apartemen Kris. Apa ia harus berbalik arah lagi dan mengantarkannya ke sana?

Dia...

Apartemen wanita yang membuat Kris setengah gila karena kehilangannya.

"Kamu gila?! Ini sudah hampir sampai di apartemenmu. Lagian untuk apa kamu mengunjungi apartemen yang tidak berpenghuni?" Vano melambai-lambaikan tangan tak menyetujui. "Tidak. tidak. Lebih baik ki,—"

"Antarkan aku ke sana!" sentak Kris memotong ucapan Vano. Vano memutar bola matanya jengah. Sulit sekali berdebat dengan orang mabuk.

Dengan terpaksa, Vano menuruti perintah Kris. Mungkin dengan ini, Kris bisa meredakan rasa rindunya pada gadis itu setelah dua bulan lamanya tidak bertemu. Sejujurnya bukan Kris saja yang hancur dan tersakiti karena merindukan sosoknya. Vano pun merasakan hal yang sama. Ia merindukan gadis itu walaupun mungkin tidak sebesar kehancuran dan kesakitan yang dirasakan Kris. Dan Vano lebih memilih memendam, tidak berani untuk mengutarakan atau menunjukkan rasa rindunya. Biarkan saja seperti ini sampai Alena ketemu.

My Cute Office GirlWhere stories live. Discover now