Chapter 9

71K 5.5K 264
                                    

"Kenapa, Len? Pak Kris manggil kamu lagi, ya?" tanya Vika yang ikut jengkel karena CEO-nya lagi-lagi menyuruh Alena ke ruangannya.

Alena mendengkus tak kalah jengkel. "Tahu, nih. Nyebelin banget! Ya udah Vik, aku ke ruangan dia dulu." Alena berlalu meninggalkan pantry dengan lesu.

Jarak dari pantry ke ruangan CEO lumayan jauh. Ia harus naik menggunakan lift sekitar dua lantai untuk sampai di sana.

Sesampainya di depan pintu sang CEO, Alena tidak lupa mengetuk pintu. Apapun yang terjadi, sekarang Alena tidak akan masuk tanpa diperintahkan untuk masuk. Alena masih trauma akan kejadian beberapa hari lalu. Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi lagi. Adegan laknat itu tidak baik untuk mata dan jantungnya.

Tok... Tok...

"Masuk." Sahut seseorang di dalam ruangan. Alena pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Kris ada di sana, tampak sibuk dengan tumpukkan kertas.

"Ada apa Anda memanggil saya?"

"Tolong buatkan saya kopi." Jawab Kris tanpa menoleh sama sekali. Benar-benar sosok CEO yang sopan!

"Kopi?!" pekik Alena memastikan apa CEO itu baru saja mengatakan dia ingin kopi?

"Iya, kopi. Kamu tidak tahu apa itu?" seraya mendongak menatap Alena. "Cepat. Jangan pake lama. Saya benar-benar ngantuk," Kris lantas memijit keningnya tampak lesu.

"Kenapa Anda tidak mengatakannya lewat telepon? Bukannya tadi Anda menelepon langsung ke pantry, ya?! Anda bisa memesannya saat saya di sana. Jadi saya nggak perlu bolak-balik seperti ini!" sungut Alena dengan nada kesal. Alena benar-benar tidak percaya sebenarnya apa yang lelaki itu pikirkan di otaknya.

Aduh, lagi-lagi temperamennya kumat.

"Ohh iyaa ... lupa." Jawab Kris dengan nada begitu santai.

"Aku tidak mengerti bagaimana seorang CEO memiliki akal pendek sepertinya." Gerutu Alena pelan yang seharusnya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, tapi ketajaman indra pendengar pria di depannya benar-benar di batas yang tidak wajar.

"Apa kamu baru saja mengumpat, Alena?! Saya mendengarnya dengan jelas!" Kris mendelik tajam.

Alena menggeleng cepat. "Ti-tidak! Ini kan sudah tugas saya. Kenapa harus mengumpat?" Alena mundur perlahan dengan tergesa-gesa. "Kalau begitu, saya akan buatkan Anda kopinya. Permisi." Ia langsung berbalik keluar ruangan sambil merutuki umpatan yang tidak sengaja keluar dari bibirnya. Kadang saat Alena kesal, ia tidak bisa mengontrol apa saja yang sudah terucap dari bibirnya secara tidak sengaja.

***
"Pak Kris, ini kopinya. Saya permisi,"
Alena memutar tubuhnya untuk keluar setelah menaruh kopinya di meja. Tapi, langkah Alena terhenti ketika suara Kris terdengar dari balik punggungnya

"Erhh ... Alena, ini terlalu pahit. Saya seperti sedang mencicipi hidupmu saja!" Kris menjauhkan kopi dari bibirnya setelah menyesap sedikit kopi yang dibawakan Alena, dan katanya terlalu pahit. Benarkah?!

"Tapi, Pak, tadi saya sudah memasukan gula dan creamnya sesuai takaran yang biasa Afifah suguhkan." Jelas Alena.

Sebenarnya Alena cukup kesal saat mendengar Kris mencibir kopi buatannya dan menyamakan rasa kopi itu dengan hidupnya. Kris saja tidak tahu bagaimana hidup Alena, bagaimana mungkin ia berkomentar mengenai itu. Menyebalkan!

"Buatkan saya yang baru, saya tidak bisa meminum kopi yang terlalu pahit. Cukup hidupmu saja. Kopiku jangan disamaratakan." Alena tidak menjawab Kris, dia hanya terdiam menatap Kris jengkel. Melihat tidak ada pergerakan dari Alena, Kris mendesah sebal. "Kenapa diam saja? Ayo, ambil kembali gelas ini dan ganti dengan kopi yang baru." Ucap Kris lagi sambil menatap Alena.

My Cute Office GirlWhere stories live. Discover now