Chapter 47

88.2K 4.6K 332
                                    

       

Happy Reading

Kris yang menerima pelukan tiba-tiba dari Velisa, kurang dari tiga detik segera mendorong tubuhnya merasa tidak nyaman. Bagaimana mungkin ia berpelukan di hadapan kekasihnya sendiri?

"Kapan kamu tiba? Aku pikir hari minggu kamu baru akan sampai ke Jakarta," ucap Kris berbasa-basi.

"Tadi malam," Velisa mengangguk. "Iya, rencananya seperti itu. Tapi, ibuku memintaku untuk secepatnya pulang ke Jakarta. You know lah bagaimana dia. Aku hanya mencoba menjadi anak penurut."

"I see... so how's London?" tanya Kris.

"Ya, begitulah. Kak Vano pasti lebih mengerti kehidupan di London itu seperti apa. Dia 'kan mantan mahasiswa di sana." Velisa menoleh ke arah Vano.

"Menyenangkan. Kecuali part di mana kamu harus masuk kampus dan mengerjakan setumpuk tugas kuliah. Selebihnya, everything was great. The life and the girls." Vano menimpali ucapan Velisa.

"See, just like that... Nothing's changed. Bahkan sampai hari ini, kehidupan di sana tak banyak berubah," ujar Velisa.

Kris hanya mangut-mangut. Ia juga tahu sekilas kehidupan di sana yang tidak akan terlalu jauh berbeda dengan kehidupan saat masa kuliahnya di Amerika. Ia pernah mengunjungi Vano, tinggal di sana beberapa hari dan bahkan mengencani salah satu gadis populer di fakultas Vano saat itu. Dan tak sampai dua minggu, Kris memutuskannya dengan dalih tidak bisa melakukan hubungan jarak jauh. Padahal, itu hanya alasan kosong belaka. Ia hanya ingin mencicipi salah satu dari wanitanya. Memang tidak berniat untuk diseriusi.

Alena duduk di ranjang rumah sakit, kakinya menjuntai ke lantai. Ia cuma jadi pendengar obrolan mereka yang tidak dimengertinya sama sekali. Ia merasa seperti tak terlihat. Ingin bergabung, tapi, memang ia siapa? Ia tidak pantas berada di sana mengobrolkan hal yang ia sama sekali tidak mengerti. Kebodohannya akan lebih terpampang di hadapan wanita cantik yang terlihat begitu dekat dengan Kris. Wanita itu tidak henti-hentinya menceritakan kehidupannya pada Kris dan Vano. Cara bicaranya saja terdengar pintar walaupun nyerocos tanpa jeda. Tapi, dia masih terlihat anggun dan berkelas.

"Mom, kamu di sini juga?" tanya Kris menoleh pada ibunya.

"Iya. Mami hampir kena serangan jantung pas tadi malam telepon handphone kamu, Vano yang angkat. Dia yang ngasih informasi." Miranda berdecak seraya mengusap wajah putranya. "Kenapa bisa kayak gini sih?"

"Bukan salahku, mom. Dia saja yang memang tidak waras."

"Iya. Mami juga sudah denger dari Vano. Dulu buku jari yang terluka, lalu telapak tangan, dan sekarang pelipis. Nanti apalagi, Kris?" protes Miranda sebal.

"Harusnya sih jangan ada lagi. Kecuali wanita yang di ranjang itu, tiba-tiba ninggalin Kris," Kris menoleh ke belakang menunjuk dengan dagu wanitanya.

Alena membalas Kris dengan kernyitan di dahi.

"Alena, kamu baik-baik saja?" tanya Miranda berjalan ke arah ranjang. Alena baru saja akan turun, dihentikan Miranda. "Tidak usah turun. Tante hanya sebentar mampir. Get well soon ya," ujar Miranda yang membuat Alena menganggukkan kepalanya senang.

"Iya. Saya baik-baik saja, Tan. Terima kasih." Kata Alena membalas ucapan Miranda. Apa ia bisa berharap saat ini Miranda sudah bisa menerimanya?

Miranda mengangguk kecil— kembali berjalan ke dekat Kris. "Kris, pastikan luka itu tidak membekas. Dan juga, hari minggu ini kamu harus datang ke rumah. Ada acara makan malam bersama keluarga Velisa. Nenek juga langsung dari Surabaya akan datang. Sebaiknya jangan beralasan. Sudah lama sekali kita tidak berkumpul."

My Cute Office GirlWhere stories live. Discover now